Makalah Ushul
Fiqh II
بسم
الله الرحمن الرحيم
ISTIHSAN DAN KEDUDUKANNYA
SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM
DALAM USHUL FIQIH
Makalah ini disusun sebagai Bahan Presentasi Mata
Kuliah
Ushul Fiqh II Semester IV
Disusun Oleh:
Agus Salim 107011003618
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
===================================================
PENDAHULUAN
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah
satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan
atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam
Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria
seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap
berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta
yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta
menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid.
Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan
keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian
masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli
Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau
“Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum.
Salah satu dalil itu adalah apa
yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut
sebagai Istihsan). Makalah ini akan menguraikan tentang
hakikat al-Istihsan tersebut, bagaimana pandangan para ulama
lintas madzhab tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait
dengannya. Wallahul muwaffiq!
Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun
yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti
“kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini
bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal
itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”[1]
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki
banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah
yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih
kuat dalam pandangan mujtahid.[2]
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun
tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[3]
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu
menuju qiyas yang lebih kuat darinya.[4]
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.[5]
Dari definisi-definisi tersebut,
kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika
seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan
hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan
hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat
yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib
dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal
secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan
air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya
batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan
pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam
Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.[6]
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab
Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini
dengan mengatakan,
Jika sebuah kasus terjadi yang
berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah umum tertentu kasus itu
seharusnya dihukumi dengan hukum tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid
nampak bahwa kasus ini memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus
yang kemudian –dalam pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau
memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan hilangnya
maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun meninggalkan hukum
tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil dari pengkhususan kasus
itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya dari kaidah umumnya, atau qiyas ‘khafy’
yang tidak terduga (sebelumnya). Proses ‘meninggalkan’ inilah yang disebut
dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab
seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan
ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil
lain juga atas hasil ijtihad ini.”[7]
Sejarah Pemunculan Istihsan Sebagai
Salah Satu Sumber Tasyri’ Islam
Satu hal yang pasti adalah bahwa
penggunaan Istihsan memang tidak ditegaskan dalam berbagai
nash yang ada; baik dalam al-Qur’an ataupun dalam al-Sunnah. Namun itu tidak
berarti bahwa aplikasinya tidak ditemukan di masa sahabat Nabi saw dan tabi’in.
Meskipun jika diteliti lebih dalam, kita akan menemukan bahwa penggunaan Istihsan di
kalangan para sahabat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup dalam
penggunaan ra’yu di kalangan mereka. Atau dengan kata
lain, Istihsan sebagai sebuah istilah pada masa itu belum
pernah disebut-sebut.
Penggunaan ra’yu sendiri
secara umum mendapatkan legitimasi dari Rasulullah saw, sebagaimana yang beliau
tegaskan dalam hadits Mu’adz bin Jabal r.a.[8] Itulah sebabnya, para sahabat
kemudian menjadikannya sebagai salah satu rujukan ijtihad mereka, meskipun
diletakkan pada bagian akhir dari prosesnya. Abu Bakr al-Shiddiq –misalnya-
jika dihadapkan pada suatu masalah, lalu ia tidak menemukan jawabannya dalam
Kitabullah, begitu pula dalam al-Sunnah, serta pandangan sahabat yang lain,
maka beliau melakukan ijtihad dengan ra’yunya. Kemudian mengatakan:
“Inilah ‘ra’yu’-ku. Jika ia
benar, maka itu dari Allah semata. Namun jika ia salah, maka itu dariku dan
dari syaithan.”[9]
Praktek penggunaan ra’yu juga
dapat ditemukan pada Umar bin al-Khaththab r.a. Dalam kasus yang sangat populer
dimana beliau menambah jumlah cambukan untuk peminum khamar menjadi 80
cambukan, padahal yang diriwayatkan dari Rasulullah saw adalah bahwa beliau
mencambuk peminum khamar hanya sebanyak 40 cambukan.[10] Tetapi ketika Umar melihat banyak
peminum khamar yang tidak takut lagi dengan hukuman itu, beliau pun
melipatgandakan jumlahnya, dan itu kemudian disepakati oleh para sahabat yang
lain.[11] Meskipun sebagian ulama memandang ini sebagai
sebuah upaya ta’zir yang menjadi hak seorang imam, namun tetap
saja di sini terlihat sebuah proses penggunaan instrumen ra’yu oleh
Umar r.a dalam ijtihadnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa
para sahabat Nabi saw menggunakan ra’yu dalam ijtihad mereka
saat mereka tidak menemukan nash untuk sebuah masalah dalam al-Qur’an ataupun
al-Sunnah. Ra’yu di sini tentu saja dengan pemahamannya yang
luas, yang mencakup qiyas, Istihsan, Istishab (al-Bara’ah al-Ashliyah),
Sadd al-Dzari’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah. Semuanya
itu dibingkai dengan pemahaman yang dalam tentang maqashid dan
prinsip-prinsip Syariat Islam yang luhur. Inilah yang kemudian yang disebut
dengan al-ra’yu al-mahmud (logika yang terpuji), sebagai lawan
dari al-ra’yu al-madzmum (logika yang tercela) yang hanya
didasarkan pada hawa nafsu belaka.[12]
Lalu adakah contoh Istihsan di
masa sahabat? DR. Sya’ban Muhammad Ismail menyebutkan beberapa bukti kasus yang
dapat disebut sebagai “cikal-bakal” Istihsan di masa sahabat[13], salah satunya adalah kasus al-Musyarrakah. Dalam
kasus ini, sebagian sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak)
mayit bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan.
Ini terjadi jika seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang
ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung.
Jika melihat kaidah umum waris
yang berlaku, maka seharusnya saudara sekandung tidak mendapatkan apa-apa,
karena sebagai seorang ‘ashabah ia harus menunggu sisa warisan
setelah ia dibagi untuk semua ashab al-furudh –dalam hal ini
suami, ibu dan saudara seibu-. Disinilah para sahabat Nabi saw berbeda dalam 2
pendapat:
1. Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Abu
Musa radhiyallahu ‘anhum berpendapat sesuai kaidah umum waris,
yaitu bahwa saudara seibu mendapatkan 1/3 dan saudara sekandung tidak
memperoleh apa-apa.
2. Sementara Umar, Utsman, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu
‘anhum mengikutsertakan saudara sekandung dalam bagian saudara seibu
(1/3). Bagian ini dibagi rata antar mereka. Alasannya karena saudara sekandung
memiliki kesamaan jalur hubungan kekerabatan dalam pewarisan ini, yaitu: ibu.
Mereka semua berasal dari ibu yang sama, karena itu sepatutnya mendapatkan
bagian yang sama.[14]
Jika kita memperhatikan pendapat
yang kedua, nampak jelas bagaimana para sahabat yang mendukungnya meninggalkan
kaidah umum waris yang berlaku dan menetapkan apa yang berbeda dengannya. Dan
dari prosesnya, mungkin tidak terlalu jauh bagi kita untuk mengatakan ini
sebagai sebuah Istihsan dari mereka.
Demikianlah hingga akhirnya di
masa para imam mujtahid, kata Istihsan menjadi semakin sering
didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Dimana dalam banyak
kesempatan, kata Istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga
sering dikatakan: “Secara qiyas seharusnya demikian, namun
kami menetapkan ini berdasarkan Istihsan.”[15]
Kedudukan
Argumentatif (Hujjiyah) Istihsan Lintas Madzhab
Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian
menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini,
terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai
salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua
pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah.
Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.[16]
Dalil-dalil yang dijadikan
pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah:
“Dan ikutilah oleh kalian apa
yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut mereka, dalam ayat ini
Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan
bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah
ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah.
2. Firman Allah:
“Dan berikanlah kabar gembira
pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti
yang terbaik (dari)nya...” (al-Zumar:
17-18)
Ayat ini –menurut mereka-
menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang
terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang
disyariatkan oleh Allah.
3. Hadits
Nabi saw:
فَمَا
رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا
سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang
dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah
baik.”[17]
Hadits ini menunjukkan
bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka
ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
4. Ijma’.
Mereka mengatakan bahwa para
ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
- Bolehnya masuk ke dalam hammam[18] tanpa ada penetapan harga tertentu,
penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
- Demikian pula dengan bolehnya
jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal
barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad.
Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[19]
Para pendukung pendapat ini
melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an,
al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan
salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam
menetapkan sebuah hukum.
2. Firman Allah:
“Wahai kaum beriman,
taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul
serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu
perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban
merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah,
sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada
Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
3. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum
dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak
memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang
boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan
oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan
logikanya sendiri.
4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat
telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di
dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu
‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka
adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”[20]
Demikianlah dua pendapat para
ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam
beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang
paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan
dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka
menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu
tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid
untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus
dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam
masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut
(sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).[21]
Dan jika kita kembali mencermati
pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita
dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian
dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap
nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini
telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri
mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat
kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya
dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena itu, banyak ulama
–termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah- memandang bahwa khilaf antara
Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf
lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan
perbedaan pendapat yang substansial.[22] Apalagi –sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian-
ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata menggunakan Istihsan dalam
beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan,
Jika (yang dimaksud dengan)
Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap bagus dan disukai oleh
seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah sesuatu yang batil, dan tidak
ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya. Namun jika yang dimaksud dengan
Istihsan adalah meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain yang lebih kuat,
maka ini tidak ada seorang (ulama)pun yang mengingkarinya.[23]
Imam al-Syafi’i dan Istihsan
Salah satu ungkapan Imam
al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsan adalah:
من
استحسن فقد شرع
“Barang siapa
yang melakukan Istihsan, maka ia telah membuat syariat
(baru).”[24] Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai
penetap syariat selain Allah.
Disamping penegasan ini, beliau
juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengingkaran beliau
terhadap Istihsan. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan,
Imam al-Syafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan
menggunakan Istihsan. Berikut ini adalah beberapa contohnya:
1. Pandangan beliau seputar penetapan kadar mut’ah atau
harta yang wajib diberikan sang suami kepada istri yang telah diceraikan –demi
menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takutnya yang diakibatkan
perceraian itu-.
Sebagian fuqaha mengatakan
bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan yang tetap dan
dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain membatasinya dengan sesuatu
yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam al-Syafi’i beristihsan dan
memberikan batasan 30 dirham bagi yang berpenghasilan sedang, seorang pembantu
bagi yang kaya, dan sekedar penutup kepala bagi pria yang miskin. Beliau
mengatakan:
“Saya tidak mengetahui kadar
tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian ‘mut’ah’, akan tetapi saya
memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya 30 dirham, berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar.”[25]
2. Istihsan beliau dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama
3 hari. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya ini hanyalah
Istihsan dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”[26]
3. Istihsan beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang
telinganya saat mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:
“Bagus jika ia (muadzin)
meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan).” [27]
Hal ini dilandaskan pada
perbuatan Bilal r.a yang melakukan hal tersebut di hadapan Rasulullah saw.[28]
Bila kedua hal ini –pengingkaran
dan penerapan Imam al-Syafi’i terhadap Istihsan- dicermati
dengan seksama, maka ini semakin menegaskan bahwa Istihsan yang
diingkari oleh al-Syafi’i adalah Istihsan yang hanya
berlandaskan hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil syar’i. Karena
itu, kita belum pernah menemukan riwayat dimana beliau –misalnya- mencela
berbagai Istihsan yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah –semoga
Allah merahmati mereka semua-.[29]
Jenis-jenis Istihsan
Para ulama yang mendukung
penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum
membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang
yang berbeda:
Pertama, berdasarkan dalil yang
melandasinya.
Dari sisi ini, Istihsan terbagi
menjadi 4 jenis:
1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum
berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang
ditetapkan oleh al-Qur’an atau al-Sunnah.
Diantara contohnya adalah: hukum
jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas
sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka.
Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh
Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi.
Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw
yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada
buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan
(jual-beli) al-salaf[30], maka hendaklah melakukannya dalam takaran
dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no.
2085 dan Muslim no. 3010)
2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’
–baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah
hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
Di antara contohnya adalah
masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan
waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak
dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan
kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain.
Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma
yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.[31]
3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat
ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas,
demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu contohnya adalah
ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan
telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari;
seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam
tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal
karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan
kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas
seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa,
maka itu membatalkan puasanya.[32]
4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum
berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum
lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang
bersifat perkataan maupun perbuatan-.
Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang
bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak
masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka
dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah
menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
“Dalam rumah-rumah yang Allah
izinkan untuk diangkat dan dikumangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang
berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara
mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang
bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid.[33]
Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang
berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada
wanita penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya, menetapkan upah yang
telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah
berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas
batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu
yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan
tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena
sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu
sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.[34]
Kedua, berdasarkan kuat-tidaknya
pengaruhnya.
Ulama Hanafiyah secara khusus
memberikan pembagian dari sudut pandang lain terkait dengan Istihsan ini,
yaitu dari sudut pandang kuat atau tidaknya kekuatan pengaruh Istihsan tersebut
terhadap qiyas.[35] Berdasarkan sudut pandang ini, Istihsan kemudian
dibagi menjadi 4 jenis:
1. Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang
kuat darinya.
2. Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang
lemah pengaruhnya.
3. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki
kekuatan.
4. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki
pengaruh yang lemah.
Dari keempat jenis ini, jenis
pertama dan kedua adalah yang paling masyhur. Salah satu contoh untuk yang
pertama adalah penetapan kesucian liur hewan carnivora dari jenis burung. Dalam
kasus ini, burung yang carnivora –karena biasa memakan bangkai- seharusnya
diqiyaskan kepada hewan buas lainnya seperti singa dan harimau dalam hal
najisnya liur mereka. Akan tetapi ulama Hanafiyah beriistihsan dan
menyatakan bahwa liur jenis burung yang carnivora lebih dekat (secara
qiyas khafy) dengan liur manusia, karena keduanya –manusia dan
burung yang carnivora- tidak boleh dimakan. Dan liur manusia –sebagaimana
terdapat dalam hadits– adalah suci. Karena itu liur jenis burung yang carnivora
juga suci. Di samping sebab lain yaitu karena burung ini memakan makanannya
dengan menggunakan paruhnya, dan paruh itu adalah anggota badan yang suci dari
najis. Kesimpulannya adalah bahwa dalam kasus ini istihsan lebih
kuat pengaruhnya daripada qiyas.[36]
Adapun untuk jenis yang kedua,
contohnya adalah melakukan sujud tilawah dalam shalat. Secara qiyas seharusnya
sujud tilawah dapat digantikan dengan ruku’ tilawah, karena baik sujud maupun
ruku’ keduanya sama-sama sebagai wujud pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Akan
tetapi berdasarkan istihsan, sujud tilawah adalah sama dengan
sujud lainnya dalam shalat –yang merupakan rukun di dalamnya-. Maka sebagaimana
sujud lainnya dalam shalat tidak boleh diganti dengan ruku’, demikian pula
dengan sujud tilawah. Namun dalam kasus ini –menurut Hanafiyah- pengamalan
qiyas lebih kuat dibandingkan pengamalan istihsan.
Adapun jika keduanya –qiyas
dan istihsan- sama kuat, maka qiyas-lah yang ditarjih atas istihsan karena
ia lebih jelas. Sedangkan bila keduanya sama-sama lemah, maka pilihannya antara
menggugurkan keduanya atau mengamalkan qiyas sebagaimana jenis sebelumnya.[37]
Dengan melihat pembagian ini,
nampak jelas bahwa istihsan tidak ‘dimenangkan’ atas qiyas
kecuali dalam satu kondisi: yaitu ketika ia lebih kuat pengaruhnya daripada
qiyas (sebagaimana jenis yang pertama).
Satu hal yang juga patut dicatat
di sini adalah bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk menggunakan istihsan kecuali
saat ia tidak menemukan nash, atau ia menemukan qiyas namun qiyas tersebut
dianggap tidak dapat merealisasikan maslahat. Hal ini seperti yang disinggung
oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (w.751H) saat mengomentari kasus seseorang yang
menemukan seekor kambing yang hampir binasa, lalu ia menyembelihnya agar ia
tidak mati sia-sia:
“Sesungguhnya secara qiyas ia
harus mengeluarkan ganti (atas perbuatannya menyembelih kambing orang lain
–pen), namun berdasarkan istihsan ia tidak wajib membayar ganti, karena ia
dibolehkan melakukan hal tersebut..”.
Lalu ia mengatakan,
Penutup
Dari uraian singkat di atas, pada
bagian penutup ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal terkait dengan
pembahasan istihsan ini sebagai berikut:
1. Bahwa istihsan sebagai salah satu metode
ijtihad dengan menggunakan ra’yu telah ditemukan bibit-bibit
awalnya di masa sahabat Nabi saw, meski belum menjadi pembahasan yang berdiri
sendiri. Lalu kemudian menjadi sebuah metode yang dapat dikatakan berdiri
sendiri setelah memasuki era para imam mujtahidin, terutama di tangan Imam Abu
Hanifah rahimahullah.
2. Bahwa istihsan sesungguhnya dapat
dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui syariatnya,
terutama istihsan yang dikaitkan dengan kondisi kedaruratan
dan ‘urf.
3. Bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan
pendapat para ulama seputar kehujjiyahan istihsan sifatnya
redaksional dan tidak substansial. Sebab ulama yang berpegang pada istihsan tidak
bermaksud melandaskannya hanya dengan hawa nafsu belaka. Sementara yang
menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian mereka agar sang mujtahid tidak
terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela. Karena itu, kita
juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i –yang dianggap sebagai ulama yang
pertama kali mempersoalkan istihsan- ternyata juga menggunakannya
dalam berbagai ijtihadnya.
Demikianlah kesimpulan penulisan
ini, semoga dapat menjadi langkah awal bagi penulisnya –secara khusus- untuk
semakin memahami keindahan Islam melalui disiplin ilmu Ushul Fiqih di masa
datang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badai’ al-Shanai’ fi Tartib
al-Syarai’. Abu Bakr
ibn Mas’ud al-Kasany. Tahqiq: ‘Ali Muhammad Mu’awwadh dan ‘Adil ‘Abd al-Maujud.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1418 H.
2. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Muhammad ibn Muhammad ibn Hazm al-Zhahiry.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. T.t.
3. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb
al-‘Alamin. Abu
Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Qayyim al-Jauziyah. Dar al-Jail. Beirut. T.t.
4. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm
al-Ushul. Muhammad
ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1414 H.
5. Al-Istihsan. http://ar.wikipedia.org/w/index.php?title.
6. Kasyf al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawy. ‘Ala al-Din ibn
‘Abd al-‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhary. Dar al-Kitab al-‘Araby. Beirut. 1394 H.
7. Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn
Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410 H.
8. Al-Mughny. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah. Maktabah al-Riyadh
al-Haditsah. T.t.
9. Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. 1417 H.
10. Al-Muwafaqat
fi Ushul al-Syari’ah. Abu
Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathiby. Tahqiq: Syekh ‘Abdullah Darraz. Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1411 H.
11. Raudhah
al-Nazhir wa Jannah al-Munazhir. Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisy.
Maktabah al-Rusyd. Riyadh. Cetakan pertama. 1416 H.
12. Al-Risalah. Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Idris
al-Syafi’iy. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. T.t.
13. Talkhish
al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’iy al-Kabir. Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar. Tahqiq: DR. Sya’ban Muhammad
Isma’il. Maktabah Ibn Taimiyah. Kairo. T.t.
14. Al-Umm. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr.
Beirut. T.t.
15. Ushul
Fiqh al-Muyassar. DR.
Sya’ban Muhammad Isma’il. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo. Cetakan pertama. 1415
H.
16. Ushul
Madzhab al-Imam Ahmad ibn Hanbal. DR. ‘Abdullah al-Turky. Mu’assasah al-Risalah. Lebanon.
Cetakan pertama. 1414 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar