MAKALAH
PERKEMBANGAN TASYRI’ PERIODE TABI’IN
Di Susun
O
L
E
H
Nama : Siti Syarah Lubis
Jurusan / Prodi : Syariah / MU
Semester / Unit : 4 / 2
Mata Kuliah : Tarikh Tasyri’
Dosen Pembimbing : -
STAIN ZAWIYAH COT KALA LANGSA
Tahun Akademik 2012/2013
===========================================
------------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Segala
puji beserta syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayahnya bagi kita untuk dapat menyelesaikan tugas
Makalah yang berjudul Perkembangan Tasyri’ Pada Periode Tabi’in.
Shalawat
beriring salam marilah kita sanjungkan kepangkuan Nabi besar Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan .
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’. Makalah ini juga
diharapkan dapat menjadi salah satu sumber referensi bacaan untuk mendapat
pengetahuan disamping sumber-sumber lain yang telah ada.
Makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, kami mengharapkan kritik dan saran demi
penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
Langsa, april 2013
Penyusun
===========================================
------------------------------------------------
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 2
A. Kondisi awal periode tabi’in .................................................................. 2
B. Faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum islam ............................ 2
C. Sumber-sumber hukum islam zaman tabi’in ............................................... 3
D. Pengaruh ahli hadits dan ahli ra’yu terhadap hukum ................................. 4
E. Pemikiran hukum islam khawarij, syi’ah dan jumhur .................................. 5
BAB III PENUTUP................................................................................. 10
A. Kesimpulan .................................................................................... 10
B. Saran ......................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 11
===========================================
------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
Pada periode ini Islam tumbuh dan
berkembang menjadi pesat serta membuahkan khazanah hukum Islam. Sehingga
periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi perundang-undangan Hukum
Islam. Para ulama’ mempunyai ilmu pengetahuan dan semangat yang tinggi, juga
kemantapan iman yang kuat dengan dibantu oleh para tokoh masyarakat atau
disebut juga para imam madzhab dan sahabat-sahabatnya.
Saat
itu pandangan pemerintah kepada ilmu pengetahuan sungguh antusias terbukti
dengan banyaknya pembukuan-pembukuan ilmu pengetahuan yang terdiri diantaranya
tentang hukum-hukum Islam, As-sunnah, Tafsir, dll. Karena banyaknya para
sahabat-sahabat yang sudah wafat, maka sebagian sahabat yang masih hidup adalah
sebagai guru dari orang-orang yang meminta fatwa serta belajar kepadanya,
mereka mempunyai hadits-hadits yang diriwayatkan dalam jumlah yang besar,
sebagian di antaranya adalah Musnad Abu Hurairah 313 halaman dari Musnad Ahmad
bin Hambal, Musnad Abdullah bin Umar 156 halaman, Musnad Abu Bakar tertulis 84
halaman, Musnad Umar yang tertulis 41 halaman serta Musnad Ali dalam 85
halaman.
Sumber
hukum Islam yang dulunya bermula dipandang hanya dalam tekstual dan bersifat
kaku akan tetapi seiring berjalannya fase-fase keemasan lahir para
cendikiawan-cendikiawan muslim yang mampu memberikan penerangan hukum yang tak hanya memandang secara teks saja akan tetapi juga
konteks[1].
Disini akan dibahas masalah pembentukan
hukum Islam pada masa tabi’in karena muai terjadinya perkembangan-perkembangan
hukum Islam yang semakin pesat.
===========================================
------------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN TASYRI’ PADA PERIODE
TABI’IN
A. Kondisi Awal Periode Tabi’in
Periode
ketiga dari perkembangan fiqh ini bermula pada saat pemerintahan umat islam
diambil oleh Muawiyah bin Abi Sufyan (41 H) setelah melalui pergumulan politik
yang panjang antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib yang berakhir dengan
terbunuhnya Ali dan penyerahan pemerintahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah.
Periode
ini dinamai periode sighar sahabat karena perkembangan hukum islam berawal dari
mereka setelah wafat nya sahabat yang bergelar Khulafa Ar-Rasyidin.
Para
sahabat sighar ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal
dengan para Tabi’in. para tabi’in yang terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab
(15 H-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27 H-114 H) di Mekah, Ibrahim
An-Nakha’i (w. 76 H) di Kufah, Al-Hasan Al-Bashri (21 H-110 H/642 M-728 M) di
Basrah Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus
di Yaman. Mereka kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan
menjadi panutan untuk masyarakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi di
daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda
pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti ijtihad sahabat
yang ada di daerah mereka sehingga
muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.[2]
B. Faktor-faktor
Yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Pada
fase ini, perkembangan hukum islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran
politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Di antara
faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum islam adalah sebagai berikut.
1. Perluasan
Wilayah
Sebagaimana
diketahui dalam sejarah, ekspansi dunia islam dilakukan sejak zaman khalifah.
Langkah awal yang dilakukan Muawiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan
adalah memindahkan ibukota Negara, dari Madinah ke Damaskus. Muawiyah kemudian
melakukan ekspansi ke Barat sehingga dapat menguasai Tunisia, Aljazair, dan
Maroko samapi ke pantai Samudera Atlantik. Penaklukan ke Spanyol dilakukan pada
zaman pemerintahan Walid bin Abdul Malik.
Di
sebelah utara, umat islam bertempur berkali-kali melawan Bizantium. Bani
Umayyah kadang-kadang masuk ke Asia kecil, bahkan mengepung Konstantinopel. Di
sebelah timur, islam menduduki Transoxiana (sekarang Uzbekistan), Sind, dan
Sungai Syr Darya, dan Sungai Indus menjadi batas timur kerajaan Islam.
Banyaknya
daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi oleh umat
islam, persoalan tersebut perlu diselesaikan berdasarkan islam karena agama
khanif ini merupakan petunjuk bagi manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah
apat mendorong perkembangan hukum islam, karena semakin luas wilayah yang
dikuasai berarti semakin banyak penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak
penduduk, semakin banyak pula persoalan hukum yang harus diselesaikan.
2. Bidang politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan
munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya
aliran hukum. Pada bidang ini timbul tiga golongan politik, yaitu: Khawarij,
Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing kelompok tersebut berpegang kepada
prinsip mereka sendiri.
3. Perbedaan
Penggunaan Ra’yu
Pada
zaman tabi’in, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran
hadits (madrasah al-hadits) dan aliran ra’yu (madrasah al-ra’yu). Madrasah
al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah Al-Hijaz dan Madrasah
Madinah, sedangkan Madrasah Ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Iraq dan Madrasah
Al-Kufah.
C. Sumber-Sumber
Hukum Islam Zaman Tabi’in
Secara
umum, Tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan dan penerapan hukum yang
telah dilakukan sahabat dalam istinbath al-ahkam. Langkah-langkah yang mereka
lakukan adalah sebagai berikut.
1. Mencari
ketentuannya dalam al-Qur’an.
2. Apabila
ketentuan itu tidak didapatkan dalam al-Qur’an, mereka mencarinya dalam Sunnah.
3. Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat.
4. Apabila
pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan
demikian, sumber-sumber atau dasar-dasar hukum islam pada periode ini adalah
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’dan pendapat sahabat, Ijtihad.
D. Pengaruh
Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu Terhadap Hukum
Madrasah
al-Hadits (Madrasah Madinah) adalah ulama yang banyak berpegang teguh pada
Sunnah dan kaya dalam pemeliharaan Sunnah. Oleh karena itu, salah seorang imam,
yaitu Imam Malik, berpendapat bahwa ijma’ penduduk Madinah adalah hujjah yang
wajib diikuti.
Ulama
yang termasuk aliran Madinah atau aliran hadits tidak diketahui jumlahnya
secara pasti, yang paling terkenal di antara mereka adalah Fuqaha Sab’ah
(Fuqaha tujuh), yakni:
1) Sa’id
bin Musayyab (w. 94 H.)
2) ‘Urwah
bin Zubair (w. 94 H.)
3) Abu
Bakar ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam al-Makhzumi (w. 94 H.)
4) ‘Ubaid
Allah ibn ‘Abdullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud (w. 98 H.)
5) Kharijah
ibn Zaid ibn Tsabit (w. 99 H.)
6) Al-Qasim
ibn Muhammad ibn Abi Bakar (107 H.)
7) Sulaiman
ibn Yasar (w. 107 H.)
Madrasah
Ra’yu atau Madrasah al-Kufah adalah sekelompok ulama yang tinggal di Kufah yang
lebih banyak menggunakan Ra’yu dibanding madrasah Madinah (madrasah hadits).
Sejak dibebaskan untuk keluar dari Madinah, banyak sahabat tinggal di Kufah. Di
antara mereka adalah Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Sa’ad ibn Abi Waqash,
‘Amr ibn Yasir, Khuzaifah ibn al-Yaman, dan Anas ibn Malik. Jumlah mereka terus
bertambah terutama setelah terjadi pembunuhan terhadap Utsman ibn ‘Affan hingga
mencapai 300 orang.
Atas
jasa sejumlah sahabat yang tinggal di Kufah, sebagian penduduk Kufah berhasil
dibina menjadi ulama dan meneruskan gagasan aliran Ra’yu. Di antara mereka
adalah:
1) Al-Qamah
ibn Qais al-Nakha’i (w. 62 H.)
2) Al-Asswad
ibn Yazid al-Nakha’i
3) Abu
Maisarah ‘Amr ibn Syarahil al-Hamdani
4) Masruq
ibn al-Ajda’ al-Hamdani (w. 63 H.)
5) Ubaidah al-Salmani
6) Syuraih
ibn al-Harits al-Kindi (w. 82 H.)
Pada
bagian atas sudah diketahui bahwa pada zaman Tabi’in atau dinasti Bani Umayah,
ulama terbagi menjadi dua aliran, yaitu ulama yang tetap tinggal di Madinah dan
akhirnya terbentuk aliran Madinah, dan sahabat yang keluar dari Madinah dan
kemudian menetap di Kufah, mereka menyebarkan hukum islam yang pada akhirnya terbentuk
hukum islam corak kufah. Ulama Madinah sangat hati-hati dalam penggunaan ra’yu,
sedangan ulama kufah relative lebih longgar dalam penggunaan ra’yu.
Masing-masing
memiliki pendapatnya sendiri dan memiliki murid atau pengikut sendiri. Secara
implicit, terbentuknya aliran hadits dan aliran ra’yu merupakan bukti bahwa
dalam islam terdapat kebebasan berpikir dan masing-masing saling menghargai
sehingga perbedaan pendapat tidak menjadi penghalang kebersamaan dan persaudaraan.
Menurut
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, hukum islam pada generasi sahabat dikembangkan oleh
Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Abbas,. Penduduk
Madinah dibimbing oleh Zaid bin Tsabit dan Abdullah ibn Umar, penduduk Mekah
dibimbing oleh Abdullah ibn Abbas, dan penduduk Iraq dibimbing oleh Abdullah
ibn Mas’ud.[3]
E. Pemikiran
Hukum Islam Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur
Konflik
politik antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan diakhiri dengan
Tahkim. Dari pihak Ali diutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan
tidak ‘cerdik’ dalam politik, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Sebaliknya, dari pihak
Muawiyah diutus seorang yang terkenal sangat ‘cerdik’ dalam berpolitik, yaitu
Amru ibn ‘Ash.
Dalam
tahkim tersebut, pihak Ali dirugikan oleh pihak Muawiyah karena kecerdikan Amru
ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Pendukung Ali ibn Abi
Thalib terpecah menjadi dua, kelompok pertama adalah mereka yang secara
terpaksa menghadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali ibn Abi
Thalib. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang menolak hasil tahkim dan
kecewa terhadap kepemimpinan Ali yang akhirnya mereka menyatakan diri keluar
dari pendukung Ali ibn Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan perlawanan
terhadap semua pihak yang terlibat dalam tahkim, termasuk Ali ibn Abi Thalib.
Sebagai
oposisi terhadap kekuasaan yang ada, khawarij mengeluarkan beberapa statement
yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim sebagai orang-orang kafir.
Dalam
perjalanannya, khawarij berubah menjadi aliran kalam, sedangkan syi’ah
memperkuat eksistensinya dalam aliran politik dengan membangun berbagai doktrin
dan ajarannya, dan jumhur tetap setia mendukung pemerintahan yang quraisy.
Khawarij terbagi menjadi banyak kelompok
(sekte), di antaranya sekte Muhakkimah, al-Azariqah, an-Najdah, dan
al-Ajaridah. Karena termasuk aliran teologi (kalam), pemikiran khawarij lebih
dikenal dalam bidang kalam (terutama tentang pelaku dosa besar) daripada
pemikirannya dalam bidang hukum.
Beberapa
gagasan Khawarij tentang hukum Islam, di antaranya:
a. Umat
islam yang tergolong jumhur (sunni) percaya bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh Quraisy.
Khawarij berbeda pendapat dengan ulam yang percaya dan menerima hadits
tersebut. Mereka berpendapat bahwa pemimpin umat islam tidak mesti keturunan
Quraisy. Bagi mereka, setiap orang yang beragama islam berhak menjadi pemimpin,
apakah ia berasal dari kalangan budak maupun dari kalangan merdeka.
b. Dalam
al-Quran terdapat sanksi bagi pelaku zina, yaitu dijilid sebanyak 100 kali. Di
samping itu, dalam sunnahditentukan sanksi bagi pelaku zina adalah rajam.
Khawarij tidak menerima dan tidak mau melaksanakan tambahan sanksi bagi pelaku
zina sesuai hadits di atas. Mereka berpendapat bahwa sanksi bagi pelaku zina
adalah 100 kali jilid, tidak ditambah rajam, sebab sanksi jilid di tentukan
dalam al-Qur’an, sedangkan rajam di tentukan dalam sunnah.
c. Dalam
al-Qur’an terdapat perempuan yang haram dinikahi. Di antara yang haram dinikahi
adalah anak perempuan (banatukum). Menurut jumhur ulama, kata banat tidak
terbatas kepada anak, tetapi mencakup cucu dan terus dalam garis keturunan
kebawah. Dengan demikian, jumhur berpendapat bahwa menikah dengan cucu (terus kebawah)
adalah haram. Khawarij (sekte al-Maimuniyyah) berpendapat bahwa menikahi cucu
perempuan adalah boleh (halal atau tidak haram), sebab yang diharamkan dalam
al-Qur’an adalah anak, sedangkan cucu tidak diharamkan.
d. Khawarij
pada umumnya berpendapat bahwa menikah dengan perempuan yang tidak masuk sekte
khawarij adalah tidak sah (sebab mereka termasuk kafir). Sekte ibadiyah
berpendapat bahwa orang yang tidak sekelompok dengannya –meskipun melakukan
shalat 5 waktu dan ibadah lainnya- adalah kafir, tetapi menikahi mereka
dibolehkan.
e. Ketika
terjadi perang antara kelompok khawarij dan umat islam yang bukan khawarij,
yang boleh dijadikan ghanimah –menurut ibadiyah- hanyalah senjata dan kuda.
Slain senjata dan kuda, tidak halal dijadikan harta rampasan perang.
Di
samping penentang, Ali ibn Abi Thalib memiliki pendukung fanatik yang
senantiasa setia kepadanya. Adanya oposisi terhadap pemerintahan Ali ibn Abi
Thalib, kesetiaan mereka terhadap pemerintahan Ali semakin bertambah, apalagi
setelah Ali ibn Abi Thalib wafat dibunuh oleh kalangan khawarij. Mereka yang
fanatik terhadap Ali Ibn Abi Thalib dikenal dalam sejarah sebagai kelompok
Syi’ah.
Dalam
perjalanannya, Syi’ah adalah terpecah menjadi beberapa sekte. Secara umum,
dalil atau sumber hukum menurut Syi’ah adalah:
Pertama,
Al-Qur’an dan Sunnah. Bagi Al-Qur’an, terdapat dua makna, yakni makna lahir dan
makna batin. Hanya imam yang dapat mengetahui makna batin tersebut.
Bagi
Syi’ah, Sunnah dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
1. Hadits shahih (tradisi yang otentik), yaitu hadits yang kebenarannya dapat diusut kembali sampai kepada imam (a’immah ma’shum) yang diceritakan oleh seorang imam adil atau bisa dipercaya yang kejujurannya disepakati oleh para imam ahli hadits.
2. Hadits hasan (tradisi yang baik), yaitu hadits yang kebenarannya seperti hadits shahih, yakni dapat dikembalikan kepada imam ma’shum, tetapi diceritakan oleh seorang imam yang terhormat. Ahli-ahli hadits tidak menyebutnya tsiqah, adil dan dapat dipercaya, namun ia dipuji oleh ahli hadits dengan kata-kata lain.
3. Hadits musaq (kuat), yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dikenal tsiqah, adil, benar, dan jujur oleh ahli sejarah, sekalipun beberapa atau semua perawinya bukan pengikut Ali ra.
4. Hadits dha’if (lemah), yatu hadits yang tidak mencapai atau memenuhi syarat-syarat hadits musaq.
Kedua, menurut Ahmad Amin Syi’ah hanya
menerima hadits dan pendapat dari imam Syi’ah dan ulama Syi’ah. Mereka menolak
riwayat dari selain imam Syi’ah. Dalam mengambil tafsir, mereka hanya mengambil
tafsir syi’ah, dan dalam mengambil hadits, mereka hanya mengambil hadits
riwayat syi’ah.
Ketiga,
Syi’ah menolak ijma’ umum sebab dengan mengakui ijma’ umum berarti mengambil
pendapat selain pendapat imam-imam syi’ah, begitu juga mereka menolak qiyas
sebagai bagian dari ar-ra’yu, karena agama bukan diambil dengan ra’yu.
Dalam
bidang politik, aliran sy’ah memiliki pandangan tersendiri yang sangat berbeda
dengan gagasan politik kalangan sunni. Bagi syi’ah, pengganti nabi Muhammad
telah ditentukan dengan cara wasiat. Penggantinya yang telah menerima wasia
tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah binti Nabi Muhammad saw.
Demikian
perbedaan mendasar antara sunni dan
syi’ah dalam bidang politik. Bagi syi’ah, imam mesti ma’shum (terjaga dari
kesalahan), mengetahui makna wahyu, baik yang tersirat maupun tersurat, dan suksesi
dilakukan dengan cara wasiat.
Meskipun
berbeda kepentingan, dua kelompok ini sepakat untuk menentang kekuasaan Dinasti
Bani Umayah. Khawarij menentang kekuasaan Bani Umayah Karena menurut mereka
Bani Umayah telah menyeleweng dai ajaran Islam. Adapun Syiah menentang
kekuasaan Bani Umayah karena dalam pandangan mereka Bani Umayah telah merampas
kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dan keturunannya.
Dalam
pertentangan itulah, muncul ulama yang berusaha netral politik, yang tidak
berpihak pada Syiah, khawarij, maupun lainnya. Kelompok ini tidak menghendaki
adanya sahabat yang dinilai kafir dan keluar dari islam. Menurut kelompok ini,
sahabat yang bertikai karena kepentingan politik tidak keluar dari islam.
Mereka tetap mukmin dan tidak kafir. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai
kelompok Murji’ah yang bisa dikatakan kelompok Jumhur.
Jumhur
yang dimaksud adalah jumhur ulama, yaitu ulama pada umumnya. Di antara
pemikiran hukum islam jumhur adalah;
1. Penolakan terhadap keabsahan nikah mut’ah. Bagi jumhur, nikah mut’ah haram dilakukan. Dalam hal ini, pendapat jumhur sejalan dengan pendapat Umar ibn Khathab.
2. Jumhur menggunakan konsep ‘aul dalam pembagian harta pusaka. Dalam hal ini, pendapat jumhur sejalan dengan pendapat Umar ibn Khathab, Zaid ibn Tsabit, dan Abbas ibn Al-Muthalib.
3. Nabi Muhammad tidak dapat mewariskan harta karena terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Kami seluruh para Nabi tidak mewariskan (harta), harta yang kutinggalkan adalah sedekah.” Dalam hal ini, jumhur sependapat dengan pendapat Abu Bakar.
4. Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah 4 orang (penafsiran terhadap QS. An-Nisa ayat 3) dan hadits yang kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
===========================================
------------------------------------------------
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada fase tabi’in ini,
perkembangan hukum islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang
secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum.
Di
antara faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum islam adalah sebagai
berikut:
1. Perluasan
Wilayah
2. Perbedaan
Penggunaan Ra’yu
Secara umum,
Tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan dan penerapan hukum yang telah
dilakukan sahabat dalam istinbath al-ahkam. Sumber-sumber atau dasar-dasar
hukum islam pada periode ini adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’dan pendapat
sahabat, Ijtihad.
Madrasah
al-Hadits (Madrasah Madinah) adalah ulama yang banyak berpegang teguh pada
Sunnah dan kaya dalam pemeliharaan Sunnah.
Madrasah Ra’yu atau Madrasah al-Kufah adalah
sekelompok ulama yang tinggal di Kufah yang lebih banyak menggunakan Ra’yu dibanding
madrasah Madinah (madrasah hadits).
Pada
periode Tabi’in ini muncul tiga aliran besar dalam umat islam, yaitu kelompok
Khawarij, Syi’ah dan Jumhur.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah sederhana ini dibuat. Namun demikian,
saya sebagai penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Saya
mohon maaf apabila masih banyak ditemui kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangat di harapkan dari pembaca.
===========================================
------------------------------------------------
DAFTAR
PUSTAKA
Mubarak, Jaih, Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Rosda Karya, 2000.
Supriadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam,
Banddung: Pustaka Setia, 2010.
www.google.com
[1]
www.google.com
[2]
Dedi Supriadi, Sejarah Hukum Islam, (Banddung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 84.
[3]
Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Rosda Karya,
2000), hlm. 58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar