MAKALAH
SEJARAH EKONOMI ISLAM KONTEMPORER
Oleh: Baqir al Sadr
AKUNTANSI SYARIAH-A
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2018/2019
=============================================
----------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Dalam ruang lingkup pemikiran ekonomi Islam kontemporer, banyak tokoh
bermunculan menawarkan gagasannya masing-masing dalam rangka menangani
kebuntuan sistem ekonomi konvensional. Kelemahan dan kebobrokan sistem
sosialisme dan kapitalisme setidaknya telah terpampang dalam rentang sejarah
kehidupan manusia melalui krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1866 s/d 2000.
Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila
sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi
kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup
banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan
model ekonomi.
Muhammad
Baqir Ash-Sadr (selanjutnya disingkat Sadr) sebagai salah satu tokoh
intelektual muslim kontemporer dewasa ini, hadir dengan gagasan original yang
mencoba menawarkan gagasan sistem ekonomi Islam yang digali dari landasan
doktrinal Islam yakni al-Qur’an dan al-Hadis. Sadr tidak sepakat bahwa ekonomi
Islam adalah sistem ekonomi yang sama seperti sistem ekonomi sebelumnya seperti
kapitalisme dan sosialisme. Dalam pada itu, magnum opus yang menjadi dedikasi
luar biasa Sadr terhadap pemikiran ekonomi Islam diwujudkan dalam Iqtishaduna
yang telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa sampai saat ini. Our Economic
merupakan salah satu bentuk transformasi bahasa tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Siapakah Baqr Al Sadr ?
2. Jelaskan Pemikiran Baqr Al Sadr?
3. Sebutkan Karya-karya Baqr Al Sadr?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi Baqr Al Sadr
2. Untuk mengetahui pemikiran Baqr Al Sadr
3. Untuk mengetahui karya-karya Baqr Al
Sadr
----------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Baqir al Sadr
Muhammad
Baqir al Sadr memiliki nama lengkap Imam Al Sayyid al Syahid Muhammad Baqir bin
Al Sayyid Haidar Ibn Isma’il Al Sadr, lahir di Kazhimiyyah pinggiran kota
Baghdad, Irak pada 25 Dzulqaidah 1353 H/1 Maret 1953 M. Ayahnya meninggal
ketika Muhammad Baqir al Sadr masih berusia 4 tahun. Kemudian ia bersama
kakaknya Isma’il dan adiknya Aminah, diasuh oleh Ibunya. Ibunya sendiri adalah
anak seorang ulama besar yaitu Syaikh Abdul Husain al Yasin dan saudara
perempuan dari tiga orang ulama kenamaan. Paman-pamannya dari pihak ibuknya
inilah yang berjasa mengasuh dan mendidik Baqir al Sadr dan saudaranya karena
paman-pamannya dari pihak ayah memilih tinggal di Iran, tempat kakenya
berpindah dan menetap.
Muhammad Baqir al Sadr berhasil
menyelesaikan belajarnya dengan hasil yang memuaskan dan pada usia 20 tahun, ia
sudah dipertimbangkan sebagai Mujtahid Absolut (Mujtahid Mutlaq) dan kemudian
naik ke tingkatan otoritas tertinggi dari marja (hakim otoritas). Otoritas
cendikiawan dan spiritual ini dalam tradisi Islam juga tertuang dalam karya
Muhammad Baqir al Sadr Iqtishaduna, beliau mendemonstrasikan metodologi
independentnya (tradisi hukum Islam), dengan pernyataan Intelektual yang tegas.
Meski mendapat tempaan pendidikan tradisional ala Islam Syiah, namun
ketertarikan Muhammad Baqir al Sadr tidak hanya pada ilmu agama saja. Terbukti
dengan karyanya di bidang filsafat yaitu falsafatuna (filsafat kita) dan
ekonomi yaitu iqtishaduna (ekonomi kita).
Didalam karyanya falsafatuna,
terlihat bahwa Muhammad Baqir al Sadr merupakan salah satu pemikir Islam yang
mampu menelaah dengan fasih para pemikir Barat. Kesan pemikir Islam yang selalu
mengekor pada pemikiran Barat dai tepis dengan kepiawaian dan kecerdasanya
dalam memaparkan setiap gagasanya. Keluasan ilmunya tidak hanya pada karya-karya
pemikir Islam klasik atau Barat modern membuatnya memberikan kematangan
berfikir sehingga dalam salah satu karyanya yang monumental falsafatuna dia dengan
gamblang mengutarakan kritik-kritik terhadap pemikiran Barat seperti John Loke,
Descartes, Karl Marx dan masih banyak lainya.
Selain
jenjang akademisnya yang bagus, Muhammad Baqir al Sadr juga aktif dalam dunia
politik yang ia mulai sebelum tahun 60-an dan mendirikan Partai Da’wah Islam
(Islamic Da’wa Party) sekaligus menjadi ketua dari partai tersebut. Namun
pencapaian karir politiknya harus dia tanggalkan ketika para seniornya di Hauza
ia diproyeksikan sebagai Grand Marja’berikutnya. Karena pada saat itu reputasi
Muhammad Baqir al Sadr sebagai seorang ahli fiqih dan ushul fiqih sangat
diperhitungkan. Untuk itu ia diminta untuk meninggalkan dunia politik dan
meletakkan jabatannya di Partai Da’wah dan Buletin al Awa’ mengingat seorang Grand
Marja’ tidak boleh bersentuhan dengan dunia politik dan tidak boleh terlibat
dalam kepengurusan sebuah partai.
Karena
keterlibatannya dalam dunia politik membuat ia harus berhadapan langsung dengan
penguasa saat itu, Saddam Husein. Perkembangan antagonisme antara Saddam Hussein
di Bagdad dan Muhammad Baqir al Sadr di Najaf antara tahun 1968 dan 1980 belum
sepenuhnya tercatat, tetapi peristiwa Asyura (hari
berkabung tahunan bagi syuhada Imam Husein bin Ali pada 680 M) ternyata sering
diwarnai kekerasan. Terutama pada 1974 dan 1977, dan lebih tajam setelah Khomeini
mulai berkuasa pada Februari 1979, antagonisme berkobar dalam kerusuhan
besar-besaran. Dilaporkan bahwa pada kerusuhan 1977 agen keamanan pemerintah
Ba`ts sedah menanyai mereka mereka yang ditangkap tentang hubungan mereka dengan
al Sadr. Kemudian setelah Sadr jelas-jelas menjadi ancaman besar bagi
pemerintah, para pemimpin Irak langsung bergerak meredam kegiatan dan
pengaruhnya.
Muhammad Baqir al Sadr ditangkap
beberapa kali sepanjang 1970an, tetapi pada Juni 1979, ketika dia sedang
bersiap-siap memimpin delegasi Irak untuk memberi selamat kepada Khomeini di
Teheran, dia dilarang untuk meninggalkan rumahnya di Najaf. Ketegangan terus
meningkat, hingga serangan granat melawan kaum Ba’ts meletus di Kota Bagdad dan
berujung dengan penyingkiran al Sadr dari Najaf pada sore 5 April 1980. Dia dan
saudara perempuannya Bintu al Huda dibawa ke Bagdad dan diyakini mereka dibunuh
pada 8 April 1980 M/1348 H. Meski Muhammad Baqir al Sadr merupakan salah satu
pemikir besar abad kontemporer, namun dia harus mati dengan tragis di tangan
pemerintahan diktator karena isu sekterian antara paham Sunni dan Syiah yang
ada di Irak.
2.2 Corak
Pemikiran Baqir al Sadr
Muhammad
Baqir al Sadr merupakan seorang penganut Syi’ah dari Sekte Syi’ah Imamiyah yang
meyakini raibnya Imam kedua belas yaitu Muhammad Mahdi al Muntazhar. Secara
garis besar aliran Syi’ah terdiri dari empat sekte, yaitu Kaisaniyyah,
Zaidiyyah, Imamiyyah dan Kaum Gulat. Syiah Imamiyah adalah golongan yang
meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai Imam
(pemimpin) penggantinya dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Meskipun
berangkat dari keluarga dan pendidikan yang tradisional, Muhammad Baqir al Sadr
tidak pernah lepas dari isu-isu masa kini. Intelektualnya yang tajam
mengilhaminya untuk belajar filsafat modern, ekonomi, sosiologi, sejarah dan
hukum secara kritis. Dia terus-menerus menyuarakan pandangannya bagi kondisi
orang-orang Muslim dan keinginannya untuk bebas, bukan hanya dari kolonialisme
ekonomi dan politik, tetapi juga dari dominasi pemikiran.
Sementara itu dalam bidang ekonomi,
Muhammad Baqir Sadr memberikan sebuah interprestasi baru yang bisa dikatakan
sebagai sebuah pemikiran yang original dari sekian banyak pemikir ekonom baik
dari kalangan Islam maupun Barat. Dia memandang ekonomi Islam bukanlah sebuah
disiplin ilmu, melainkan sebuah madzhab atau doktrin yang direkomendasikan oleh
Islam. Perbedaan ini dapat dilihat dari pengertian yang diberikan oleh Muhammad
Baqr Sdr tentang tentang ilmu ekonomi dan doktrin ekonomi itu sendiri.
Pemikiran ekonomi Muhammad Baqir
Sadr yang fundamental ini membuat dia terkenal dengan konsep ekonominya yang
benar-benar baru, bahkan lebih mengarah menolak konsep ekonomi yang disodorkan
oleh ekonom Barat. Oleh karena itu, Adi Warman Azwar Karim mengklasifikasikan
madzhab ekonomi masa kontemporer ini menjadi tiga madzhab yaitu Madzhab Baqir
Sadr, Madzhab Mainstream dan Madzhab Alternatif Kritis. Dengan adanya pengklasifikasian
ini menunjukkan bahwa pemikiran Muhammad Baqir al Sadr memang benar-benar
orisinil dan memiliki daya tawar dikalangan para pemikir ekonom yang lainya.
2.3 Karya –
karya Baqir al Sadr
Muhammad
Baqir al Sadr dapat dikatakan sebagai salah satu intelektual muslim yang paling
produktif abad ke- 20. Baqir Sadr menulis buku-buku dengan tema besar seperti
filsafat, tafsir al Quran, logika, pendidikan, hukum undang-undang, ekonomi,
perbankan tanpa bunga, serta karya-karya tradisional lain tentang fiqh dan
ushul fiqh dan penyellidikan tentang awal mula perselisihan antara Sunni dan
Syiah.
Berikut karya-karya Muhammad Baqir
al Sadr sesuai dengan tema besar yang menjadi konsentrasinya:
a. Fiqih
b.
Ushul Fiqih
c.
Filsafat
d.
Mantiq/Logika
e.
Teologi/Aqidah
f.
Ekonomi
g.
Tafsir dan Ulumul Qur’an
h.
Sejarah
i.
Kebudayaan Islam
j.
Artikel
Dari puluhan
karya tulis yang berhasil ia hasilkan, Falsafatuna dan Iqtishaduna merupakan
Magnum Opus dari tulisan Muhammad Baqir al Sadr, dua karya ini telah mencuatkan
Muhammad Baqir Sadr sebagai teoritisi kebangkitan Islam terkemuka abad ke- 20.
Sistem filsafat dan ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan
lembaga. Dalam Falsafatuna dan Iqtishaduna, Baqir al Sadr ingin menyajikan
kritik yang serius terhadap aliran Marxisme dan Kapitalisme. Buku ini baik dari
segi sturuktur maupun metodologi, tak diragukan lagi inilah sumbangsih paling
serius dan paling banyak disaluti di bidang ini. Di dalam berbagai karyanya
beliau juga menganjurkan konsep Islam sebagai ganti konsep-konsep yang telah
ada (Marxisme dan Kapitalisme) dalam membedakan antara kebenaran dan kesalahan.
Dia juga sering menjadi konsultan bagi berbagai organisasi islam, seperti Bank
Pembangunan Islam.
Falsafatuna ditulis pada tahun 1959,
karya terkemuka Baqir al Sadr dalam bidang filsafat yang telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa termasuk ke dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
Pembahasan dalam buku ini secara garis besar bisa dibagi dua, bagian pertama
merupakan pembahasan tentang teori ilmu pengetahuan dan bagian kedua membahas
tentang ide-ide filosofi dunia. Dalam buku ini Baqir Sadr juga mengkritisi
beberapa ide para filosof barat, seperti Hegel dan Karl Marx. Komunisme
menurutnya tidak akan mampu menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat karena
sejak awal ideologi ini dibangun di atas asumsi dasar yang sudah keliru.
Magnum Opus
kedua dari Muhammad Baqir al Sadr adalah buku iqtishaduna. Buku ini merupakan
suatu diskusi terinci tentang Ekonomi Islam dan merupakan suatu serangan
terhadap kapitalisme dan sosialisme. Pada 1984, istishaduna diterjemahkan
sebagian ke dalam bahasa Jerman, disertai mukadimah panjang biografi Baqir al
Sadr oleh seorang orientalis muda Jerman. Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa termasuk Bahasa Indonesia. Iqtishaduna secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua bagian
Bagian
pertama merupakan penjelasan dan kritikan Baqir Sadr terhadap teori ekonomi
Marxis dan Kapitalis. Dalam bab tersebut dia menjelaskan teori Marxis dengan
sangat jelas seolah beliau sendiri adalah seorang pengikut Marxis. Kemudian
beliau menyerang teori tersebut, menghancurkan akar dan dasar-dasar teori
ekonomi yang diusun oleh Marx. Penjelasan dan serangan terhadap Kapitalisme
tidak sepanjang yang beliau berikan terhadap ekonomi Marxis, sebab menurutnya,
struktur ideologi kapitalisme sebagai sebuah mazhab tidak serumit struktur
ideologi Marxis. Hal ini juga disebabkan karena kuatnya ideologi Marxis di Irak
pada saat buku ini disusun.
Bagian kedua
buku ini baru membahas tentang madzhab ekonomi Islam. Bagian ini merupakan
jawaban terhadap tuduhan yang dilontarkan oleh kaum komunis dan sekularis yang
mengatakan bahwa Islam kering dari solusi yang bisa menjawab
persoalan-persoalan ekonomi. Dengan mengagumkan dia merumuskan doktrin ekonomi
Islam yang didasarkan kepada hukum Islam, suatu kajian yang belum pernah
dilakukan oleh para ilmuwan sebelumnya.
2.4 Pemikiran Sistem Ekonomi Islam Menurut Muhammad Baqir al Sadr
Sebagai
seorang pemikir ekonomi Muslim yang cukup terkenal dengan keoriginalitasan
pemikirannya pada abad ke- 20an. Muhammad Baqir al Sadr memandang ekonomi Islam
bukan sebuah disiplin ilmu melainkan sebuah madzhab atau doktrin yang
direkomendasikan oleh Islam. Dia membuat perbedaan yang signifikan antara ilmu
ekonomi dan doktrin (madzhab) ekonomi. Dalam kasus ini Muhammad Baqir al Sadr
berpendapat bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang mencakup penjelasan terperinci
perihal kehidupan ekonomi, peristiwa-peristiwanya, gejala-gejala lahirnya,
serta hubungan antara peristiwa-peristiwa dan fenomena - fenomena tersebut
dengan sebab-sebab dan faktor-faktor umum yang mempengaruhinya.
Sementara
itu madzhab atau doktrin ekonomi menurut Muhammad Baqir al Sadr adalah sebuah
nama yang dipakai untuk mengungkapkan cara atau metode yang dipilih dan diikuti
oleh suatu masyarakat dalam kehidupan ekonomi mereka serta dipergunakan
memecahkan setiap masalah praktis yang tengah mereka hadapi. Muhammad Baqir al
Sadr selanjutnya menyatakan bahwa perbedaan yang signifikan dari kedua
terminologi di atas adalah bahwa doktrin ekonomi berisi setiap aturan dasar
dalam kehidupan ekonomi yang berhubungan dengan ideologi seperti nilai-nilai
keadilan. Sementara ilmu ekonomi berisikan setiap teori yang menjelaskan
realitas kehidupan ekonomi yang terpisah dari kerangka ideologi.
Dengan demikian, pandangan ekonomi Islam
menurut Baqir al Sadr adalah sebuah doktrin dan bukan merupakan suatu ilmu pengetahuan,
karena dia adalah cara yang direkomendasiakan Islam dalam mengejar kehidupan
ekonomi, bukan merupakan suatu penafsiran yang dengannya Islam menjelaskan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ekonomi dan hukum - hukum yang
berlaku di dalamnya.
Mazhab Baqir
al Sadr mengemukakan bahwa ada tiga hal yang membedakan antara ilmu ekonomi
dengan mazhab ekonomi, yaitu:
a)
Ilmu ekonomi dan mazhab ekonomi
berbeda dalam tujuan. Tugas ilmu ekonomi adalah untuk menemukan fenomena
eksternal kehidupan ekonomi. Sedangkan tugas doktrin (mazhab) ekonomi adalah
menyusun suatu sistem berdasarkan keadilan sosial (al`Adalah al-Ijtima`iyyah)
yang sanggup mengatur kehidupan ekonomi umat manusia.
b)
Doktrin atau mazhab ekonomi adalah sistem,
sementara ilmu ekonomi merupakan interpretasi/penafsiran.
c)
Ilmu Ekonomi dan mazhab ekonomi
berbeda dalam hal metode dan tujuan, akan tetapi tidak berbeda dalam hal materi
pembahasan dan ruang lingkup. Pada saat yang bersamaan, seperti saat membahas produksi
dan distribusi, seseorang akan membahas doktrin ekonomi dan ilmu ekonomi
sekaligus.
Dalam
pandangannya melihat Sitem Ekonomi Islam, Muhammad Baqir al Sadr melihat Sistem
Ekonomi Islam sebagai bagian dari sistem Islam secara keseluruhan dan
bersiteguh bahwa ia haruslah dipelajari sebagai suatu keseluruhan
interdisipliner bersama dengan seluruh anggota masyarakat yang merupakan
agen-agen sistem Islam itu. Ia menyarankan agar orang memahami dan mempelajari
pandangan dunia (Worldview) Islam lebih dulu jika ingin mendapatkan hasil yang
memuaskan dalam menganalisis sistem ekonomi Islam. Sejalan dengan itu, maka
semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi
konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya,
Baqir Sadir menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan
dideduksi dari al Quran dan as Sunnah. Inilah pangkal pemikiran dari Muhammad
Baqir al Sadr sehingga para sarjana ekonomi Islam menganggapnya sebagai pemikir
ulung dengan menawarkan konsep ekonomi Islam yang berbeda dengan paham-paham
ekonomi konvensioanl yang lebih dulu kita pahami (kapitalis-sosialis).
Jadi, menurut
mazhab ini bahwa ekonomi Islam merupakan suatu istilah yang kurang tepat sebab
ada ketidaksesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Ada
kesenjangan secara terminologis antara pengertian ekonomi dalam perspektif
ekonomi konvensional dengan ekonomi syari’ah. Pandangan ini didasarkan pada
pengertian dari ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul
karena adanya masalah kelangkaan sumber daya ekonomi dibandingkan dengan
kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas. Dalam mazhab ini Baqir menolak
pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah telah
menciptakan manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi sebagaimana ditegaskan
dalam firman Allah yang artinya:
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi,
dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam
kekuasaan-Nya.dan Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
seukuran-ukurannya dengan rapi. (QS.Al-Furqan :2 )
Dalam hal
ini konsep kelangkaan tidak bisa diterima karena tidak selaras dengan pesan
wahyu yang menjamin kehidupan setiap makhluk di bumi ini. Pada sisi lain lain
mazhab Baqir al Sadr juga menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia sifatnya
tidak terbatas. Jadi kesimpulannya dalam konsep law of diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang
dikonsumsi maka pada titik tertentu justru akan menyebabkan tambahan kepuasan dari
setiap tambahan jumlah barang yang
dikonsumsi akan semakin berkurang.
Jadi kesenjangan pemikiran
yang menimbulkan kekacauan persepsi antara pengertian kebutuhan (need) dan
keinganan (want). Jika perilaku manusia disandarkan pada keinginan (want) maka
persoalan ekonomi tidak akan pernah selesai karena nafsu manusia selalu merasa
tidak akan pernah puas. Dan disinilah persoalan ekonomi yang dihadapi sekarang
karena bertitik tolak pada keinginan (want) masyarakat sehingga tekanan ekonomi
menjadi semakin kuat yang berdampak pada ketodakseimbangan baik secara
makroekonomi maupun mikroekonomi. Salah satu efek yang ditimbulkan dari perilaku
ekonomi yang bertitik tolak pada keinginan yaitu semakin rusaknya sistem
keseimbangan lingkungan hidup karena sumber – sumber daya ekonomi terkuras
habis sekedar untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak akan pernah puas.
Dalam perspektif ekonomi Islam
bahwa perilaku ekonomi harus didasarkan pada kebutuhan (need) yang disandarkan
pada nilai – nilai syari’ah Islam. Sebagai seorang muslim tidak diperbolehkan
untuk selalu mengikuti setiap keinginan hawa nafsu, karena bisa jadi keinginan
itu justru akan menimbulkan bencana bagi kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya. Demikian juga dalam aktivitas
ekonomi bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim harus
disandarkan pada syari’ah Islam dalam aktivitas konsumsi, produksi maupun distribusi.
Moral ekonomi Islam yang
didasarkan pada pengendalian hawa nafsu akan menjamin keberlangsungan kehidupan
dan sumber daya ekonomi di dunia ini. Alokasi sumber daya ekonomi akan
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara bijaksana dan bertanggungjawab
yaitu untuk menghasilkan barang dan jasa yang penting bagi masyarakat. Akan
dihindari alokasi sumber daya ekonomi untuk hal – hal yang merusak dan
merugikan kehidupan masyarakat seperti produksi minuman keras, narkoba,
perjudian dan lainnya. Sehingga tidak timbul kekhawatiran akan nasib generasi
manusia yang akan datang, karena tiap individu melakukan aktivitas ekonomi dan
pengelolaan sumber daya ekonomi yang didasarkan pada kebutuhan (need) yang
berlandaskan syariah Islam bukan hanya sekedar mengikuti (want) yang tidak akan
pernah puas.
Selanjutnya bahwa menurut
mazhab Baqir al Sadr persoalan pokok yang dihadapi oleh seluruh umat manusia
didunia ini adalah masalah distribusi kekayaan yang tidak merata. Bagaimana
yang diberikan Allah kepada seluruh makhluk termasuk manusia ini bisa
didistribusikan secara merata dan proporsional. Potensi sumber daya ekonomi
yang diciptakan Allah di alam semesta ini begitu melimpah baik yang ada di
darat maupun dilaut. Jika dikelola dengan baik dan bijaksana niscaya semua
individu di dunia ini dapat hidup secara layak.
2.5 Karakteristik Ekonomi Islam
Dengan definisi ekonomi
Islam di atas, selanjutnya dalam beberapa pembahasan Sadr merumuskan
karakteristik ekonomi Islam yang terdiri atas :
a. Konsep Kepemilikan Multi Jenis (Multitype Ownership)
Dalam pandangan Sadr,
ekonomi Islam memiliki konsep kepemilikan yang dikatakan sebagai kepemilikan
multi jenis. Bentuk kepemilikan tersebut dirumuskan dalam 2 kelompok yakni
bentuk kepemilikan swasta (private) dan kepemilikan bersama yang terbagi
menjadi dua bentuk kepemilikan yakni kepemilikan publik dan kepemilikan Negara.
Kepemilikan swasta (private) dalam pandangan Sadr hanya terbatas pada hak
memakai dan adanya prioritas untuk menggunakan serta hak untuk melarang orang
lain untuk menggunakan sesuatu yang telah menjadi miliknya. Dalam hal ini, Sadr
dan seluruh pemikir ekonomi baik klasik maupun kontemporer sepakat bahwa yang
dimiliki oleh manusia hanyalah sebatas kepemilikan sementara, sedangkan
kepemilikan yang mutlak hanya terdapat pada Allah SWT. Bentuk kepemilikan kedua
adalah kepemilikan bersama. Dalam hal ini seperti diatas telah disinggung bahwa
bentuk kepemilikan bersama ini terbagi menjadi dua jenis yakni kepemilikan
publik dan kepemilikan Negara. Perbedaan kepemilikan publik dengan kepemilikan
Negara adalah terletak pada tata cara pengelolaannya. Bagi Sadr, kepemilikan
publik harus digunakan untuk kepentingan seluruh anggota masyarakat. Beberapa
sektor kepemilikan publik semisal keberadaan rumah sakit, sekolah, dan
infrastruktur jalan. Sedangkan kepemilikan Negara dapat digunakan tidak hanya
bagi kebaikan semua orang, melainkan juga dapat digunakan untuk suatu bagian
tertentu dari masyarakat, jika memang negara menghendaki demikian.
b. Pengambilan Keputusan, Alokasi Sumber dan Kesejahteraan Publik
Fakta bahwa pemilikan
Negara mendominasi sistem ekonomi Islam, pada akhirnya mendorong lahirnya
sebuah gagasan bahwa peran pemerintah dalam bidang ekonomi sangatlah penting.
Dalam hal ini, beberapa fungsi pokok pemerintah dalam bidang ekonomi antara
lain :
1)
Mengatur sistem
distribusi kekayaan berdasarkan pada kemauan dan kapasitas kerja masing-masing
individu dalam masyarakat.
2)
Mengintegrasikan aturan
hukum Islam dalam setiap penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam.
3)
Membangun sistem
kesejahteraan masyarakat melalui terjaminnya keseimbangan sosial dalam
masyarakat.
c. Larangan Riba dan Pengimplementasian Zakat
Sebagaimana pemikiran
ekonom muslim lain, Sadr juga berpendapat bahwa riba adalah sesuatu yang harus
dijauhkan dari interaksi ekonomi masyarakat. Sedangkan zakat merupakan
instrument setrategis yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan
ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
2.6 Pandangan Islam Tentang Masalah Ekonomi.
Menurut Sadr,
masalah-masalah ekonomi lahir bukan disebabkan oleh kelangkaan sumber-sumber
material ataupun terbatasnya kekayaan alam. Hal ini didukung dengan dalil
al-Qur’an Surah Al-Qamar: 49 yang menyatakan : “Sesungguhnya kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya”.
Dengan demikian, karena
segala sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, sebenarnya Allah telah
memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia didunia. Dari ayat
tersebut yang kemudian diperkuat dalam al-Qur’an Q.S. Ibrahim : 32-34, Sadr
berpendapat bahwa permasalahan ekonomi muncul karena disebabkan oleh dua faktor
yang mendasar. Pertama adalah karena prilaku manusia yang melakukan kezaliman
dan kedua karena mengingkari nikmat Allah SWT. Dzalim disini dimaksudkan bahwa
betapa banyak ditemukan dalam realitas empiris, manusia dalam aktivitas
distribusi kekayaan cenderung melakukan kecurangan-kecurangan untuk memperoleh
keuntungan pribadi semata, seperti melakukan tindakan penimbunan atau ikhtikar.
Sedangkan yang dimaksud ingkar adalah manusia cenderung menafikan nikmat Allah
dengan semena-mena mengeksolitasi sumber-sumber alam.
Dari kedua aspek
tersebut, Sadr menyimpulkan sebagai salah satu faktor yang dominan yang menjadi
akar lahirnya permasalahan ekonomi dalam kehidupan manusia, bukan karena akibat
terbatasnya alam atau karena ketidakmampuan alam dalam merespon setiap dinamika
kebutuhan manusia. Menurut Sadr, masalah tersebut hanya dapat teratasi dengan
mengakhiri kedzaliman dan keingkaran manusia. Salah satu cara yang ditawarkan
Sadr adalah dengan menciptakan hubungan yang baik antara distribusi dan
mobilisasi segenap sumber daya material untuk memakmurkan alam serta menyibak
segala kekayaan. Di sisi lain, Baqr Sadr melihat bahwa paradigma sistem sekular
yang menyatakan bahwa sumber daya alam adalah terbatas yang dihadapkan pada
kebutuhan manusia yang tidak terbatas sebagai kunci lahirnya permasalahan
ekonomi, adalah sebagai sesuatu penghindaran sesuatu yang sudah ada solusinya,
dengan menyuguhkan penyebab imajiner yang tidak ada solusinya.
2.7 Teori
Produksi
Dalam aktivitas
produksi Sadr, mengklasifikasi dua aspek yang mendasari terjadinya aktivitas
produksi. Pertama adalah aspek obyektif atau aspek ilmiah yang berhubungan
dengan sisi teknis dan ekonomis yang terdiri atas sarana-sarana yang digunakan,
kekayaan alam yang diolah, dan kerja yang dicurahkan dalam aktivitas produksi.
Aspek obyektif ini berusaha untuk menjawab masalah-masalah efisiensi teknis dan
ekonomis yang berkenaan dengan 3 pertanyaan dasar yang terkenal dengan istilah
The Three Fundamental Economic Problem yang meliputi what, how dan for whom.
Kedua adalah aspek subyaktif . Yaitu aspek yang terdiri atas motif psikologis,
tujuan yang hendak dicapai lewat aktifitas produksi, dan evaluasi aktivitas
produksi menurut berbagai konsepsi keadilan yang dianut. Sisi obyektif
aktivitas produksi adalah subyek kajian ilmu ekonomi baik secara khusus maupun
dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan lainnya guna menemukan hukum-hukum umum
yang mengendalikan sarana-sarana produksi dan kekayaan alam supaya dalam satu
kondisi manusia dapat menguasai hokum-hukum tersebut dan memanfaatkannya untuk
mengorganisasi sisi obyektif produksi secara lebih baik dan lebih sukses.
Selain itu, menurut
Sadr sumber asli produksi dijabarkan dalam tiga kelompok yang terdiri atas
alam, modal dan kerja. Adapun sumber alam yang dipergunakan untuk aktivitas
produksi Sadr membaginya kembali kedalam tiga kelompok, yakni tanah,
substansi-substansi primer dan aliran air.
a. Strategi Pertumbuhan Produksi
Dalam rangka mewujudkan
pertumbuhan produksi, Sadr menawarkan dua strategi. Strategi tersebut terdiri
atas strategi doktrinal/intelektual dan strategi legislatife/hukum.
·
Strategi doktrinal/
intelektual.
Strategi ini bertolak pada asumsi bahwa manusia termotivasi untuk bekerja
keras di pandang ibadah jika dilaksanakan dengan pemahaman dan niat seperti
yang dinyatakan dalam al-Quran. Membiarkan sumber-sumber menganggur, melakukan
pengeluaran mubadzir ataupun produksi barang-barang haram adalah terlarang
dalam ajaran Islam. Pemikiran demikian merupakan yang dikatakan sebagai
landasan doctrinal dalam mewujudkan pertumbuhan produksi.
·
Strategi
legislatif/hukum.
Untuk keberlangsungan strategi
doktrinal di atas, maka diperlukan aturan hukum yang membackup strategi
doktrinal tersebut. Beberapa strategi legislatif atau aturan hukum yang
ditawarkan oleh Sadr, antara lain sebagai berikut:
1)
Tanah yang menganggur
dapat disita oleh Negara dan meredistribusikannya kepada orang lain yang mampu
dan mau menggarapnya.
2)
Larangan terhadap hima
yakni memiliki tanah dengan jalan paksa.
3)
Larangan kegiatan
transaksi yang tidak produktif, seperti membeli murah dan menjulnya dengan
harga yang mahal tanpa bekerja.
4)
Pelarangan riba,
ikhtikar, pemusatan sirkulasi kekayaan dan melakukan tindakan yang berlebihan
atau mubadzir.
5)
Melakukan regulasi
pasar dan mengkontrol situasi pasar.
b. Kebijakan Ekonomi Untuk Meningkatkan Produksi
Sarana-sarana di atas
adalah sumbangsih Islam sebagai sebuah doktrin dalam pertumbuhan produksi dan
peningkatan kekayaan. Setelah memberikan sumbangsih tersebut, Islam menyerahkan
langkah-langkah selanjutnya kepada Negara dengan mengkaji berbagai situasi dan
kondisi obyektif kehidupan ekonomi. Melakukan survei dan sensus tentang
kekayaan alam, apa saja yang dimiliki Negara, lalu mengkaji secara komperhemsif
tenaga kerja dalam masyarakat serta berbagai kesulitan dan kehidupan yang
mereka jalani.
Berdasarkan semua itu,
dalam batas-batas doktrinal diformulasikan kebijakan ekonomi yang mengarah
kepada pertumbuhan produksi dan peningkatan kekayaan yang ikut andil dalam
mempermudah serta mempernyaman kehidupan masyarakat. Atas dasar pemikiran ini
Sadr, memahami hubungan antara agama dengan kebijakan ekonomi Negara adalah
satu kesatuan yang utuh. Dalam hal ini, Negara dapat mematok jangka waktu
tertentu seperti 5 tahun untuk mencapai tujuan atau target tertentu. Kebijakan
seperti ini bukan merupakan unsur pokok agama begitupun penentu serta
formulasinya pun bukan tugas agama, melainkan hasil pembumian nilai-nilai Syari’ah
oleh pemerintah.
2.8 Distribusi Kekayaan
Dalam
pemikiran Sadr, distribusi kekayaan berjalan pada dua tingkatan, yang pertama
adalah distribusi sumber-sumber produksi dan yang kedua adalah distribusi
kekayaan produktif. Pokok pikiran yang di maksud Sadr, sebagai sumber-sumber
produktif adalah terkait dengan tanah, bahan-bahan mentah, alat-lat dan mesin
yang dibutuhkan untuk memproduksi beragam barang dan komoditas.
Sedangkan yang termasuk dengan kekayaan produktif hasil dari proses
pengolahan atau hasil dari aktivitas produksi melalui kombinasi sumber-sumber
produsi yang di hasilkan manusia melaui kerja. Berkenaan dengan ini pula, maka
prinsip-prinsip menjaga adilnya sirkulasi kekayaan dan keseimbangan harta
ditengah-tengah kehidupan masyarakat juga masuk dalam konsepsi Sadr sebagaimana
pemikiran ekonomi Islam lainnya.
2.9
Tanggung Jawab
Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi
Menurut Sadr, fungsi
pemerintah dalam bidang ekonomi terdapat beberapa tanggung jawab. Tanggung
jawab atau fungsi pemerintah dalam bidang ekonomi tersebut antara lain
berkenaan dengan pertama, penyediaan akan terlaksananya Jaminan Sosial dalam
masyarakat, kedua berkenaan dengan tercapainya keseimbangan sosial dan ketiga
terkait adannya intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi.
a.
Jaminan Sosial di tengah
- tengah Kehidupan Masyarakat.
Islam telah menugaskan Negara untuk menyediakan jaminan sosial guna
memelihara standart hidup seluruh individu dalam masyarakat. Dalam hal ini,
menurut Sadr jaminan social tersebut terkait dengan dua hal, yakni pertama
Negara harus memberikan setiap individu kesempatan yang luas untuk melakukan
kerja produktif sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari kerja dan usahanya
sendiri. Bentuk jaminan sosial yang kedua adalah di dasari atas kenyataan bahwa
stiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, jika
individu dalam kondisi yang tidak mampu melakukan aktifitas kerja produktif
sebagaimana yang dimaksud dalam bentuk jamianan sosial yang pertama, maka
Negara wajib mengaplikasikan jaminan sosial bagi kelompok yang demikian dalam
bentuk pemberian uang secara tunai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan untuk
memperbaiki standart kehidupanya.
Prinsip jaminan sosial dalam Islam didasarkan pada dua basis doktrinal.
Pertama keharusan adanya kewajiban timbal balik dalam masyarakat. Kedua hak
masyarakat atas sumber daya ( kekayaan ) publik yang dikuasai Negara. Kedua
basis tersebut memiliki batas dan urgensi tersendiri yang berkenaan dengan
penentuan jenis kebutuhan apa yang pemenuhannya harus dijamin, juga berkenaan
dengan penetapan standart hidup minimal yang harus dijamin oleh prinsip jaminan
sosial bagi setiap individu.
b. Mewujudkan
Keseimbangan Sosial
Konsep kesembangan sosial yang ditawarkan oleh Sadr adalah konsep
keseimbangan yang didasarkan pada dua asumsi dasar. Pertama fakta kosmik dan
fakta doktrinal. Fakta kosmik merupakan
suatu perbedaan yang eksis ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Menurut Sadr,
adalah suatu fakta yang tidak bisa diingkari oleh siapapun bahwa setiap
individu secara alamiah memiliki bakat dan potensi yang berbeda-beda. Perbedaan
tersebut dalam satu titik pada akhirnya akan melahirkan perbedaan dalam
kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, perbedaan tersebut dikenal dengan strata sosial.
Dari hal ini, menurut Sadr adalah tidak dapat dibenarkan bahwa perbedaan yang
bersifat bawaan atau kosmik di atas merupakan hasil dari proses sejarah yang
bersifat eksidental, sebagaiamana Marx dan para pengikutnya memaknai proses
tranformasi sistem kehidupan masyarakat dari tingkatan komunal menuju sistem
puncak yakni komunisme adalah berakar dari proses dialektis dalam relasi
produksi (interaksi ekonomi).
Adapun fakta doktrinal adalah hukum distribusi yang menyatakan bahwa kerja
adalah salah satu instrument terwujudnya kepemilikan pribadi yang membawa
konsekuensi atas segala sesuatu yang melekat padanya. Dari hal tersebut diatas,
maka konsep keseimbangan sosial dalam Islam menurut Sadr adalah konsep
keseimbangan yang harus didasarkan pada dua asumsi dasar di atas.
=============================================
----------------------------------------------
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Muhammad Baqir Ash-Sadr (selanjutnya disingkat Sadr) sebagai salah satu
tokoh intelektual muslim kontemporer dewasa ini, hadir dengan gagasan original
yang mencoba menawarkan gagasan sistem ekonomi Islam yang digali dari landasan
doktrinal Islam yakni al-Qur’an dan al-Hadis. Sadr tidak sepakat bahwa ekonomi
Islam adalah sistem ekonomi yang sama seperti sistem ekonomi sebelumnya seperti
kapitalisme dan sosialisme. Dalam pada itu, magnum opus yang menjadi dedikasi
luar biasa Sadr terhadap pemikiran ekonomi Islam diwujudkan dalam Iqtishaduna
yang telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa sampai saat ini. Our Economic
merupakan salah satu bentuk transformasi bahasa tersebut.
3.2 SARAN
Dengan selesainya makalah ini,semoga
dapat menjadi referensi pembaca dan menambah ilmu. Penulis juga berharap kepada
pembaca dapat menerapkan ilmu, ilmu didapatkan karena membaca
referensi-referensi yang ada.
=============================================
----------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Baqr As Shadr,. Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishoduna,
Jakarta: Ziyad, 2008
Karim,Adiwarman,. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Yogyakarta:PT Pustaka Pelajar, 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar