TAFSIR TENTANG AYAT IBADAH
Di Susun
O
L
E
H
Kelompok 7:
1. Siti Syarah Lubis
2. Irmayani
3. Aulia Chairiah
4. Yusfita Muna
Jurusan / Prodi : Syariah / MU
Semester / Unit : 3 / 2
Mata Kuliah : Tafsir
Dosen Pembimbing: -
STAIN ZAWIYAH COT KALA LANGSA
Tahun Akademik 2012/2013
====================================
-----------------------------------------
KATA PENGANTAR
Segala
puji beserta syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayahnya bagi kita untuk dapat menyelesaikan tugas
Makalah yang berjudul Tafsir tentang Ayat Ibadah.
Shalawat
beriring salam marilah kita sanjungkan kepangkuan Nabi besar Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam kebodohan kealam yang berilmu pengetahuan .
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir. Makalah ini juga diharapkan
dapat menjadi salah satu sumber referensi bacaan untuk mendapat pengetahuan
disamping sumber-sumber lain yang telah ada.
Makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, kami mengharapkan kritik dan saran demi
penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
====================================
-----------------------------------------
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN........................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN ............................................................................. 2
1.
Tafsir Surat Adz-Dzariyat ayat 56 ....................................................... 2
2.
Tafsir Surat Ar-Ruum ayat 30 ............................................................. 4
3.
Ibadah dalam Islam .............................................................................. 6
BAB
III PENUTUP...................................................................................... 10
A.
Kesimpulan ...................................................................................... 10
B.
Saran ................................................................................................ 10
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 11
====================================
-----------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
Ibadah adalah
segala sesuatu yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala,
baik berupa ucapan dan amalan, yang nampak dan yang tersembunyi.
Allah memberitahukan,
hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada
Allah . Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua
ketaatan yang nampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Manusia diciptakan Allah bukan sekedar
untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia
diciptakan oleh Allah untuk beribadah.
Dasar dari ibadah
adalah pengakuan akan kenyataan, bahwa manusia adalah makhluk (Allah) dan oleh
sebab itu sebagai hamba-Nya manusia berkewajiban untuk mengabdi kepada Allah,
Tuhan dan Zat tempat ia akan kembali kelak. Oleh sebab itu manusia merasa perlu
untuk menghadapkan wajahnya kepada Tuhannya, lewat pertemuan yang akrab, lewat
puja dan sembah, yang dilaksanakan dalam hasrat dan semangat berserah diri, dan
semuanya itu disebut dengan ibadah.
====================================
-----------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR TENTANG AYAT IBADAH
A. Tafsir Surat Adz-Dzariyat ayat 56
Ibadah (عبادة) secara
etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah
mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi ibadah itu
antara lain :
1. Ibadah ialah
taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya (yang
digariskan) melalui lisan para Rasul-Nya,
2. Ibadah adalah
merendahkan diri kepada Allah , yaitu tingkatan ketundukan yang paling tinggi
disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi,
3. Ibadah ialah sebutan yang
mencakup seluruh apa yang dicintai
dan diridhai Allah , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun
bathin. Ini adalah definisi ibadah yang
paling lengkap.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan
dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta),
tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad
adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi
macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia:
ﻮﻤﺎﺨﻟﻘﺖﺍﻠﺠﻦﻮﺍﻹﻨﺲﺍﻻﻠﻴﻌﺒﺪﻮﻦ
Artinya: “Dan tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)
Abu Ja’far berkata: para ulama berlainan pendapat dalam
menafsirkan ayat ini. Beberapa mengatakan bahwa maknanya adalah “Tidak Aku
ciptakan orang-orang yang akan berbahagia nantinya dari bangsa Jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Ku, dan tidak Aku ciptakan orang-orang yang akan
sengsara nantinya untuk berbuat maksiat”.
Mereka yang berpendapat demikian memperkuat penafsiran
mereka dengan menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini: Ibnu Humaid meriwayatkan
kepada kami, ia berkata: Mahran meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, dari Ibnu
Juraij, dari Zaid bin Aslam, ia mengatakan bahwa makna firman Allah QS.
Adz-Dzariyat ayat 56 itu adalah apa yang akan membawa mereka kepada kebahagiaan
atau kesengsaraan yang abadi.[1]
Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, yaitu sesungguhnya Aku
menciptakan mereka itu agar Aku menyuruh mereka beribadah kepada-Ku, bukan
karena Aku membutuhkan mereka, agar mereka mau-baik rela atau terpaksa-melaksanakan
peribadatan kepada-Ku. Dan tidaklah Aku ini memerintahkan mereka untuk
beribadah kepada-Ku melainkan karena Aku sajalah yang berhak untuk disembah.
Bila mereka telah menserikatkan peribadatan kepada yang selain Aku, maka
kemurkaan-Ku akan segera menimpa mereka. Akan tetapi, bila mereka mentauhidkan
Aku didalam peribadatan, maka Aku akan meridhai mereka dan akan memasukkan
mereka kedalam surga. Dan tidak diragukan lagi bahwa ini semua adalah rahmat
dari pada-Nya terhadap semua hamba-Nya. Yakni, penjelasan perkara ini kepada
mereka sehingga mereka mengamalkan apa yang telah mereka ketahui itu dengan
cara yang diridhai oleh Allah SWT merupakan rahmat dari-Nya. Sedangkan Allah
sama sekali tidak mempunyai kepentingan apa-apa terhadap mereka. Dia adalah
Mahakaya, tidak perlu kepada semua yang terdapat di alam ini.[2]
Bahwasanya Allah menciptakan jin dan manusia tidak ada guna
yang lain, melainkan buat mengabdikan diri kepada Allah. Jika seorang telah
mengakui beriman kepada Tuhan, tidaklah dia akan mau jika hidupnya di dunia ini
kosong saja. Seluruh hidup hendaklah dijadikan ibadah.
Menurut riwayat dari Ali bin Abu Thalhah, yang diterimanya
dari Ibnu Abbas, arti untuk beribadah ialah mengakui diri adalah budak atau
hamba dari Allah, tunduk menurut kemauan Allah, baik secara sukarela atau
secara terpaksa, namun kehendak Allah berlaku juga.
Ibadah itu diawali atau dimulai dengan IMAN. Yaitu percaya
bahwa ada Tuhan yang menjamin kita. Percaya akan adanya Allah ini saja, sudah
jadi dasar pertama dari hidup itu sendiri. Maka IMAN yang telah tumbuh itu,
wajib dibuktikan dengan amal yang shalih, yaitu perbuatan yang baik. Iman dan
Amal shalih inilah pokok ibadah. Bila kita telah mengaku beriman kepada Allah,
niscaya kita pun percaya kepada Rasul-Nya. Maka pesan Allah yang disampaikan
oleh Rasul itu kita perhatikan. Perintah-Nya kita kerjakan, larangan-Nya kita
hentikan.[3]
Rasulullah SAW. pernah bersabda: “Allah tidak akan menerima iman apabila tidak diungkapkan lewat amal,
dan tidak akan menerima suatu amal
apabila tidak dilandasi oleh iman.
Realisasi dari ibadah itu adalah mendirikan shalat, membayar
zakat, puasa di bulan Ramadhan, berhaji ke Baitul-Mahram, berzikir kepada Allah
sebanyak-banyaknya, dan bertasbih pada waktu pagi dan petang, bukan seperti kaum
munafik yang disifati oleh Al-Qur’an,
“…Apabila mereka
berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya
(dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali
sedikit sekali.” (an-Nisa’ : 142)
Ibadah ini tidaklah sempurna kecuali menghalalkan apa yang
dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah, serta berhenti
pada batas-batas yang ditentukan Allah dalam perintah dan larangan-Nya, seraya
berkata “Kami dengar dan kami patuhi.”[4]
B. Tafsir Surat Ar-Ruum ayat 30
Ketentuan
bahwa manusia itu memiliki fitrah yang lurus ditegaskan dalam Al-Quran surat
Ar-Rum ayat 30, yakni:
ﻓﺎﻗﻢﻮﺠﻬﻙﻟﻟﺪﻴﻦﺣﻨﻴﻔﺎۙفطرﺖﷲﺍللتيﻓﻄﺮﺍﻟﻨﺎﺲﻋﻟﻴﻬﺎۗﻻﺘﺑﺪﻴﻞﻟﺨﻟﻖﷲۗﺬﺍﻟﻚاﻟﺪﻴﻦاﻟﻘﻴﻢﻮﻠﻜﻦاﻜﺜﺮاﻟﻨﺎﺲﻻﻴﻌﻠﻤﻮﻦ
Artinya: “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus, namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Ayat ini diturunkan Allah mengarahkan kalam-Nya kepada Nabi
Muhammad dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin umat agar beliau bersama semua
umat beliau mencamkan perintah Allah dalam ayat tersebut, yakni: kata ﻓﺎﻗﻢﻮﺠﻬﻙ “maka hadapkanlah
wajahmu” yang di maksud adalah perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan
upaya mengahadapkan diri kepada Allah secara sempurna karena selama ini kaum
muslimin, apalagi Nabi Muhammad telah menghadapkan wajah kepada tuntunan
agama-Nya. Dari perintah diatas tersirat juga perintah untuk tidak menghiraukan
gangguan kaum musyrikin yang ketika turunnya ayat ini di Mekkah, masih cukup
banyak. Makna tersirat itu dipahami dari redaksi ayat diatas yang memerintahkan
menghadapkan wajah. Seorang yang diperintahkan menghadapkan kea rah tertentu,
pada hakikatnya diminta untuk tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, apalagi
memerhatikan apa yang terjadi di balik arah yang semestinya dia tuju.[5]
Dalam ayat itu menerangkan tentang Manusia menurut fithrah
beragama tauhid. Fitrah Allah maksudnya: ciptaan Allah. Manusia diciptakan
Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu
hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.[6]
Menurut Tafsir Ath-Thabari, tafsir dari ayat diatas yaitu
Allah berfirman: Wahai Muhammad, luruskanlah arahmu ke arah yang engkau tuju,
yaitu Tuhanmu, untuk taat kepada-Nya, yaitu agama Islam. ﺤﻨﻳﻔﺎ "dengan lurus" dengan
sikap istiqamah untuk agama Allah dan taat kepada-Nya. فطرﺖﷲﺍللتيﻓﻄﺮﺍﻟﻨﺎﺲﻋﻟﻴﻬﺎ “fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu.” Itulah fitrah ciptaan Allah, Dia ciptakan manusia
menurut fitrah itu.
ﻓﻄﺮﺖ
“fitrah”, pada posisi nashab karena mashdar dari makna ayat ﻓﺎﻗﻢﻮﺠﻬﻙﻟﻟﺪﻴﻦﺣﻨﻴﻔﺎ “maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah.” Jadi makna ayat ini adalah, Allah menciptakan manusia
menurut itu adalah sebagai fitrah.
Ahli takwil juga sependapat dengan hal tersebut, di antara
mereka adalah:
1. Yunus
menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahab mengatakan kepada kami, ia
berkata: Ibnu Zaid berkata tentang ayat itu, ia berkata “maknanya adalah agama
islam, sejak Allah menciptakan mereka dari Nabi Adam AS secara keseluruhan”. Kemudian
beliau membacakan ayat ﻜﺍﻦﺍﻠﻨﺎﺲﺍﻤﺔﻮﺍﺤﺪﺓﻓﺒﻌﺚﷲﺍﻠﻨﺒﻴﻦ
“manusia itu adalah umat yang satu
(setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi. (Al-Baqarah :
213)
2. Ibnu
Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya bin Wadhih menceritakan
kepada kami, ia berkata: Yunus bin Abu Shalih menceritakan kepada kami dari
Yazid bin Abu Maryam, ia berkata: Umar melewati Mu’adz bin Jabal, ia lalu
bertanya “apakah tiang umat ini”. Mua’dz menjawab “ada 3, dan semuanya adalah
penyelamat, yaitu: keikhlasan, itu adalah fitrah. Lalu shalat, itu adalah
agama. Lalu ketaatan, itu adalah penjaga dan pemelihara”. Lalu Umar berkata
“Engkau benar.”[7]
Dalam
kitab Tafsir Al-Bayan, tafsir terhadap ayat
yaitu: “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu” karena akal manusia sendiri
merasakan bahwa dia itu baru, berhajat kepada yang menjadikannya. “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah” maksudnya
mengatakan bahwa Allah berbilang, berarti merubah fitrah Allah. Akan tetapi
tidak ada yang merubah kedudukan akal yang diciptakan Allah sebagai dalil.[8]
C. Ibadah Dalam Islam
Secara garis besar ibadah dibagi menjadi dua:
1) Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu
rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut
telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat
ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
2) Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap
gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu:
pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai
titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.
Manusia diciptakan Allah bukan sekedar
untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia
diciptakan oleh Allah untuk beribadah.
Ibadah, dalam Islam
merupakan cara untuk mensucikan diri, baik jiwa manusia ataupun kehidupan
sehari-harinya.
Dasar dari ibadah
adalah pengakuan akan kenyataan, bahwa manusia adalah makhluk (Allah) dan oleh
sebab itu sebagai hamba-Nya manusia berkewajiban untuk mengabdi kepada Allah,
Tuhan dan Zat tempat ia akan kembali kelak. Oleh sebab itu manusia merasa pelu
untuk menghadapkan wajahnya kepada Tuhannya, lewat pertemuan yang akrab, lewat
puja dan sembah, yang dilaksanakan dalam hasrat dan semangat berserah diri, dan
semuanya itu disebut dengan ibadah.
Ibadah adalah bagian
yang tak terpisahkan dari seluruh agama-agama, bahkan termasuk para penyembah
berhala. Hanya saja, pada masing-masing agama hal tersebut lebih dimotivasi
oleh berbagai tujuan, bentuk yang ragam, serta dilaksanakan dengan berbagai
cara dan tatanan.
Pada sebagian agama,
ibadah dianggap sebagai upaya pengembangan sikap manusia ke arah asketisme
(kepertapaan) serta menjauhi kehidupan. Pada agama-agama semacam ini, ibadah
merupakan sarana untuk pengembangan mentalitas yang ingin menjauhkan diri dari
kenikmatan duniawi.
Ada agama lain, yang
mewajibkan pelaksanaan ibadah hanya di tempat-tempat tertentu, serta melarang
pelaksanaan ditempat lain. Termasuk juga di dalamnya suatu agama, yang
menetapkan pelaksanaan ibadah hanya boleh dilakukan apabila dibawah pimpinan
sekelompok orang tertentu saja, mereka ini biasanya disebut sebagai pendeta.
Tampak jelas, bahwa makna dan bentuk ibadah amat berbeda antara satu agama
dengan agama lainnya.
Sedang dalam ajaran
islam, konsepsi ibadah berkaitan erat dengan pandangan mendasar, bahwa landasan
kehidupan yang baik adalah keyakinan dan pemikiran yang benar, kesucian jiwa,
serta tindakan yang baik.
Lewat keyakinan akan
Keesaan Tuhan (Tauhid), Islam mengimbau akal budi manusia agar menjauhkan diri
dari penyembahan kepada berhala serta berbagai bentuk pembudakan iman lainnya.
Dalam kenyataannya, baik politeisme ataupun penyembahan berhala yang ditentang
keras oleh islam menyebabkan merosot dan runtuhnya martabat manusia. Islam amat
menentang politeisme dan penyembahan berhala dalam segala bentuknya. Dalam
upaya memebersihkan iman dari berbagai cemaran syirik tersebut, Islam amat
keras sikapnya, kendati terhadap hal-hal yang paling halus bentuknya sekalipun.
Salah satu bentuknya, misalnya saja, bahwa islam sangat melarang seseorang
untuk bershalat di depan makam, atau bersumpah dengan sesuatu selain nama
Allah.
Ketika khalifah Umar
melihat bahwa sudah ada sebagian orang yang memuja-muja pohon tempat para
sahabat Nabi pernah berprasetya (berbai’at) kepada Rasulullah SAW. (yakni
sumpah untuk berjihad di jalan Allah yang diucapkan di Hudaibiyyah), maka ia
pun mulai cemas kalau-kalu hal tersebut akan menggerogoti iman ummat Islam.
Oleh sebab itu ia segera memerintahkan agar pohon tersebut ditebang. Dengan
menghancurkan segala sesuatu yang akan merusakkan kemampuan untuk membedakan
antara Sang Pencipta (Khaliq) dan makhluk-Nya, Islam telah membawa pemeluknya keluar
dari kegelapan keberhalaan dan kebodohan, dan kemudian dibawa kedalam terangnya
kenyataan.
Oleh sebab itu,
tujuan beribadah dalam Islam adalah menyucikan jiwa manusia dan kehidupan
sehari-hari dari cemaran dosa dan hal-hal yang keji (fahsya’ dan munkar).
1. Keutamaan
Ibadah
Keutamaan
dan sekaligus pembeda ibadah menurut ajaran Islam dapat dinyatakan sebagai
berikut:
a. Bebas
dari segala perantara
Islam
telah melepaskan ibadah dari ikatan perantara yang menghubungkan manusia dengan
Sang Maha Pencipta. Islam menyeyogyakan adanya hubungan langsung antara manusia
dengan Tuhannya, sehingga sebenarnya peranan perantara tidak diperlukan lagi.
Para
sarjana Islam (ulama) bukan perantara yang menghubungkan manusia dengan Tuhan,
atau mereka juga tidak memiliki hak untuk menerima ataupun menolak peribadatan
yang ditujukan kepada Tuhan. Di dalam pandangan Tuhan, para ulama tersebut
hanyalah manusia yang memiliki tugas tambahan untuk menuntun mereka yang tidak
berpengetahuan. Dalam Islam, kewajiban tersebut merupakan kewajaran bagi mereka
yang memiliki kelebihan ilmu. Dengan kata lain, Islam tidak membenarkan adanya
dominasi ulama terhadap kehidupan para pemeluknya. Peranan para ulama tersebut
semata-mata hanya sebagai penunjuk jalan agar manusia selalu ada di dalam jalan
yang benar.
b. Tidak
ditujukan untuk wilayah tertentu
Islam
tidak saja membebaskan peribadatan manusia dari belenggu keperantaraan; tetapi
ia juga membebaskan dari keterikatan terhadap tempat tertentu. Islam memandang
seluruh tempat, bahkan di punggung hewan tunggangan sekalipun, ataupun di
geladak kapal nun di tengah samudera luas, dan tentu saja masjid yang memang
sengaja dibangun untuk melaksanakan ibadah, merupakan tempat yang layak untuk
beribadah. Dimana saja, seorang manusia akan selalu dapat menghadapkan wajahnya
kepada Tuhannya. Rasulullah SAW. pernah menyatakan dengan indahnya: “Seluruh
muka bumi ini terhampar bagiku sebagai masjid suci dan bersih”.
c. Melingkupi
segala
Islam
melihat lingkup ibadah dalam lingkup skala yang luas. Ibadah dalam islam tidak
hanya terpaku pada bentuk-bentuk do’a atau pujian tertentu yang harus diucapkan
atau dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu saja. Islam berpandangan, bahwa
segala perbuatan baik yang dilaksanakan dengan tulus, serta kesadaran bahwa
segalanya dilaksanakan untuk melaksanakan perintah Tuhan serta semata-mata
untuk mencari keridhaan-Nya, maka hal tersebut merupakan ibadah dan untuk itu
ia akan mendapatkan ganjaran dari-Nya. Bahkan makan, minum, tidur, berekreasi,
termasuk juga tindakan-tindakan jasmani guna memperoleh kenikmatan sensual,
apabila dilaksanakan dengan niat agamis yang benar, pastilah merupakan ibadah
kepada-Nya. Memang, segala tidakan asal dilaksanakan dengan niat semata-mata
untuk mengikuti kehendak-Nya, walaupun secara lahiriah tampak hanya sebagai
memenuhi keperluan pribadi, asal dilaksanakan dengan cara menjalankan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, niscaya hal tersebut
termasuk kedalam ibadah.
2. Kehendak
dan Niat
Para
ahli hukum Islam (fuqaha) dan ulama sama-sama berpendapat bahwa niat telah
mengubah nilai suatu kebiasaan (‘adah) menjadi ibadah. Niat dan kehendak baik
itulah yang membedakan dunia kehidupan manusia. Tanpa niat dan kehendak baik,
maka manusia memenuhi keperluan hidupnya sebagaimana halnya dengan
makhluk-makhluk lainnya.[9]
====================================
-----------------------------------------
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ibadah (عبادة) secara
etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah
mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu.
Manusia diciptakan Allah bukan sekedar
untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia
diciptakan oleh Allah untuk beribadah.
Ibadah,
dalam Islam merupakan cara untuk mensucikan diri, baik jiwa manusia ataupun
kehidupan sehari-harinya.
Secara garis besar ibadah dibagi menjadi dua:
1. Ibadah murni (mahdhah)
2. Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan
manusia sebagaimana firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56.
Ketentuan
bahwa manusia itu memiliki fitrah yang lurus ditegaskan dalam Alquran surat
Ar-Rum ayat 30.
B. KRITIK
DAN SARAN
Demikianlah makalah sederhana ini kami buat. Namun demikian,
kami sebagai penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami
mohon maaf apabila masih banyak ditemui kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangat kami harapkan dari pembaca semua.
====================================
-----------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Abu Jafar Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Ar-Rifa’I, M. Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta:
Gema Insani Press, 2000.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera
Hati, 2002.
Departemen Agama Republik
Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota, 1989.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Al-Bayan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2002.
Khurshid Ahmad, dkk, ISLAM: Sifat, Prinsip dasar, dan Jalan
Menuju Kebenaran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
[1] Abu Jafar Muhammad bin
Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 651-652.
[2] M. Nasib Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), hlm. 480-481.
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka
Panjimas), hlm. 37-38.
[4] Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, (Jakarta:
Gema Insani, 1999), hlm. 597.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 207.
[6] Departemen Agama Republik
Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), hlm. 645.
[7] Opcit, hlm. 651-652.
[8] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Al-Bayan Tafsir,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 918.
[9] Khurshid Ahmad, dkk, ISLAM: Sifat, Prinsip dasar, dan Jalan
Menuju Kebenaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 49-55.
====================================
-----------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar