Makalah Tarikh Tasyri’
TASYRI’ PADA MASA MUJTAHID
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
RENI DIAN SARI
Semester / Unit : IV / II
Jurusan / Prodi : Syari’ah / Muamalat
Dosen Pembimbing : -
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
ZAWIYAH COT KALA LANGSA
2012-2013
========================================
-----------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah yang tiada terhingga kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan kasih sayang—Nya akhirnya saya memperoleh inspirasi kecerdasan pikiran dan kekuatan lahir dan batin sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Tarikh Tasyri’, yang berjudul “ Tasyri’ Pada Masa mujtahid “.
Shalawat beriring salam saya ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam jahiliyah menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Dengan pertolongan dan hidayah dari Allah serta dukungan dari teman-teman makalah ini dapat tersusun. Namun demikian saya sadar makalah ini masih jauh dari sempurna , untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak terutama dosen pembimbing , untuk menjadikan makalah ini menjadi lebih baik.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyusun makalah ini. Dan semoga makalah ini tercatat sebagai amal ibadah . Amin.
========================================
-----------------------------------------------
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................... i
DAFTAR ISI............................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................ 1
BAB II PEMBAHASAN....................................... 2
A. Sekilas Pandang Tentang Ijtihad dan Mujtahid......... 2
B. Ijtihad Pada Masa Imam Mazhab ........................ 2
C. Periode masa stagnasi dan kemunduran ................. 6
BAB III PENUTUP......................................... 8
DAFTAR PUSTAKA.......................................... 9
========================================
-----------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tarikh Tasyri’ merupakan salah satu kajian penting
yang membahas sejarah legislasi pembentukan hukum syari’at Islam, asas tasyri’
dalam AlQuran, penetapan dan sumber hukum pada Nabi, para sahabat dan fuqaha
dalam generasi pertama. Tumbuhnya embrio golongan politik dan pengaruhnya atas
perkembangan hukum islam masa berikutnya. Sehingga munculah istilah-istilah
fiqh dan tokoh-tokoh mujtahid, serta pembaruan pemikiran hukum pada masa pasca
kejumudan dan reaktualisasi hukum Islam di dunia Islam.
Oleh karena itu, untuk membuka jalan menuju destinasi
serta mengetahui urgensinya, maka perlu sebuah kajian dan pembahasan dalam
memahami fiqh Islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai dengan metodologi
penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqh, periodisasi perkembangan hukum
Islam, sumber-sumber hukum Islam serta madzhab-madzhab fiqh.
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang
paling pesat pada abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu
dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fiqih dan munculnya
mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam-imam mazhab,
yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam
Hanbali).
B.Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah agar mahasiswa mengetahui bagaimana perkembangan ijtihad pada masa imam mazhab dan sesudahnya serta kebangkitan kembali daya ijtihad.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah agar mahasiswa mengetahui bagaimana perkembangan ijtihad pada masa imam mazhab dan sesudahnya serta kebangkitan kembali daya ijtihad.
C.RumusanMasalah
1. Bagaimana perkembangan ijtihad pada masa imam Mazhab?
2. Bagaimana perkembangan ijtihad pada masa sesudah imam mazhab?
1. Bagaimana perkembangan ijtihad pada masa imam Mazhab?
2. Bagaimana perkembangan ijtihad pada masa sesudah imam mazhab?
3.
bagaimana Periode masa stagnasi dan kemunduran?
4. Bagaimana Periode masa kebangkitan?
4. Bagaimana Periode masa kebangkitan?
========================================
-----------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Sekilas Pandang Tentang Ijtihad dan Mujtahid
Secara
etimologis, ijtihad berakar pada kata : “ja ha da” yang berarti: kesulitan atau
“kesusahan” Kata ijtihad berasal dari kata “aljuhdu” (dengan dhammah atau
fathah huruf jiim berarti kemauan dan kesulitan “masyaqqah”; kata ini sepola
dengan naf’ah. Misalnya ungkapan “wajtahid fil amri” yang berarti mencurahkan
kemampuan dan daya mencapai sesuatu guna mencapai apa yang diinginkan yang
berupa tujuan akhir.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”.
Adapun Pembagian mujtahid yaitu sebagai berikut.
a. Mujtahid Muthlaq, yaitu orang yang mampu menggali atau mengambil
hokum-hokum cabang dari dalil-dalilnya, dan mampu pula menerapkan metode dan
dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan ijtihajnya.Mujtahid ini
terbagi menjadi dua ya’ni mujtahid mutlaq mustaqil dan mujtahid mutlaq
muntasib.
b. Mujtahid Mazhab, Mujtahid ini juga terbagi menjadi dua macam, ya’ni
mujtahid takhrij dan mujtahid tarjih.
B. Ijtihad Pada Masa Imam Mazhab
Ijtihad
mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad kedua sampai dengan
abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta
fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai
imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad
bin Hanbal (Imam Hanbali).[1]
1. Imam abu hanifah (Imam Hanafi)
Nama lengkapnya
ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Diahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun
80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam
Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan : Abu Hanifah An Nu’man. Imam
Abu Hanifah adalah pemikir dibidang fiqh yang kemudian hasil-hasil pemikirannya
disebut dengan Mazhab Hanafi. Oleh karena itu ia disebut sebagai pendiri Mazhab
Hanafi. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak
dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya.
Imam Hanafi
atau Imam Abu Hanifah dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan.
Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama
mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan.
Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus
tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai
sebagai hadits ahad.Yang menjadi pedoman Ijtihad dalam menetapkan hukum Islam
(fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa
sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah
Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan
metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
2. Imam Maliki
(Malik Ibn Anas)
Nama lengkap
dari pendiri mazhab ini ialah : Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun
93 M = 712 M di Madinah. Imam Malik dikenal sebagai pelopor tebentuknya Mazhab
Maliki. Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal
dari Imam Malik dan para penerusnya di masasesudah beliau meninggal dunia. Ia
dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh
terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh
dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang
disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman
Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena
disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung
pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut
oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini,
Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Dasar Ijtihad
Imam Malik adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah
(statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat,
al-Maslahah al-Mursalah, ‘Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u
Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun
oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi
menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu
Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut
Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah
bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah
al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ‘Urf; dan Istishab. Menurut para ahli
usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih
mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
3. Imam syafi’i
Nama lengkapnya
ialah Muhammad bin Idris Asy Syafi’I, seorang keturunan Hasyim bin Abdul
Muthalib. Beliau lahir di Guzah tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya
Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama. Guru Imam Syafi’i yang
pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup
hafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-an
barulah mempelajari bahasa dan syi’ir ; kemudian beliau mempelajari hadits dan
fiqh.
Prinsip dasar
Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini
asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh
merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam berijtihad menetapkan
hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an.
Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila
dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan
penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai
landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan
ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap
suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila
dalam ijma’ tidak juga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang
dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi
Imam asy-Syafi ‘i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia
menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’.
4. Imam Hanbali
Beliau adalah
pendiri Mazhab Hanbali. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin
Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat
tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke
berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain : Siria, Hijaz,
Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis
dalam kitab Musnadnya. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di
zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam
asy-Syafi’i.[2]
Menurut Ibnu
Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
a)
An-Nusus (jamak dari nash), yaitu
Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’;
b)
Fatwa Sahabat;
c)
Jika terdapat perbedaan pendapat
para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat
yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW;
d)
Hadits mursal atau hadits daif yang didukung
oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’; dan
e)
Apabila dalam keempat dalil di atas tidak
dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal
hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat
dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan
Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan,
sadd az-Zari’ah, ‘urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum Islam.
Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada menggunakan Qiyas.
Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada menggunakan Qiyas.
A.
Ijtihad Pasca Imam Mazhab
Masa pasca masa
Imam Mazhab ini terbagi menjadi 2 yakni; masa taklid dan konsolidasi mazhab
atau pada fase disintegrasi dan masa periode masa stagnasi dan kemunduran
tasyri’dan kebangkitan (periode pasca runtuhnya baghdad) hingga masa sekarang
atau modern.
1. Masa taklid
dan konsolidasi mazhab atau pada fase disintegrasi (IV-VII H)
1)
Masa Taklid.
Semangat dan
kemerdekaan ijtihad yang marak mewarnai aktifitas tasyri’ di berbagai periode
sebelumnya, seolah-olah lenyap dan diganti dengan semangat dan jiwa baru yang
justru menjadi titik awal kemunduran tasyri’, ya’ni taklid. Kalaupun ditemukan,
adanya hanya praktek ijtihad yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tasyri’ generasi
ini, namun yang ada hanyalah mujtahid muqoyyad atau mazhab. Mujtahid ini
terbagi menjadi dua bagian, yakni Mujtahid Takhrij (Mujtahid Asbab al- Wurud),
dan Mujtahid Tarjih (Mujtahid Fatwa).
a.Tradisi taklid.
Yang dimaksud
dengan taklid disini adalah totalitas penerimaan rumusan hokum syari’at Islam
dari seorang imam tertentu, dan anggapan bahwa ketetapan itu muthlak harus di
ikuti oleh muqollid, seolah-olah ada dalil nash yang mewajibkan hal itu.
Dalam mendeskripsikan kondisi tasyri’ di periode ini, al-Hajwi berkata,”tradisi taklid telah menguasai para ‘ulama’. Mereka cukup puas dengan hanya bertaklid. Dan kondisi ini terus berkembang, sebaliknya ijtihad kian hari semakin menghilang. Puncaknya terjadi pada pertengaahan abad ke IV H. karena pada saat itu mayoritas ‘ulama’ tela puas dengan mendasari fiqh mereka pada fiqh Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, dan Hanbal……. Kontribusi pemikiran imam-imam tersebut di nilai menyamai nash al-Qur’an dan as-sunnah yang tidak berani mereka tentang”.
Dalam mendeskripsikan kondisi tasyri’ di periode ini, al-Hajwi berkata,”tradisi taklid telah menguasai para ‘ulama’. Mereka cukup puas dengan hanya bertaklid. Dan kondisi ini terus berkembang, sebaliknya ijtihad kian hari semakin menghilang. Puncaknya terjadi pada pertengaahan abad ke IV H. karena pada saat itu mayoritas ‘ulama’ tela puas dengan mendasari fiqh mereka pada fiqh Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, dan Hanbal……. Kontribusi pemikiran imam-imam tersebut di nilai menyamai nash al-Qur’an dan as-sunnah yang tidak berani mereka tentang”.
Senada dengan
al-Hajwi, Farouq Abu Zaid mengatakan, “Kondisi rapuh yang menimpa dunia Islam semenjak
pertengahan abad ke IV H sampai runtuhnya kekuasaan Abbasiyah di Baghdad
membawa dampak yang hebat bagi rapuhnya fiqh. Akibatnya, tertutuplah pintu
ijtihad dan terbelenggunya pemikiran. Berkembanglah kemudian semangat taklid di
kalangan pakar fiqh. Dalam menyikapi berbagai permasalahan dan fenomena
masyarakat, mereka tidak lagi melakukan isthinbath al-ahkam secara langsung
dari sumber hokum, al-Qur’an hadis. Mereka lebih suka mengikat diri dengan
pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat pendahulunya.
b.Sebab-Sebab Taklid
Tumbuh dan
berkembangnya mentalitas taklid pada periode ini di sebabkan oleh beberapa
faktor, baik internal atau eksternal. Diantara sebagian kecil faktor tersebut
ialah:
1.
Instabilitas sosial politik.
2.
Rumusan hokummazhab fiqh dianggap
sudah pari purna.
3.
Fanatisme bermazhab(Ta’ashshub).
4.
Melemahnya semangat ijtihad.
5.
Tertutupnya pintu ijtihad.[3]
2). Konsolidasi
Mazhab.
Dalam hal ini,
Khudlori Bik menyebutkan tiga fokus aktifitas tasyri’ ilmiyah pakar-pakar fiqh
periode ini; pertama, menganalisa alasan hokum(illat) yang dideduksikan oleh
imam mazhab;kedua, mentarjih(menyeleksi) berbagai pendapat mazhab ;ketiga,
pembelaan terhadap eksistensi mazhab.
Fokus pertama
lebih sering di lakukan ulama’-ulama’ Hanafiyah, dengan cara: memanfaatkan
pengetahuan tentang illat hukum, menganalogiskan kasus baru dengan permasalahan
yang pernah terjamah hukumnya oleh pemikiran imam mazhab, serta memanfaatkan
kaidah ushul yang menjadi pedoman imam mazhab dalam berijtihad.
Fokus kedua adalah tarjih atau penyelesaian pendapat, yang di lakukan dengan dua pendekatan, yakni dari segi periwayatan dan dari segi diroyah(analisa substansi hukum). Dari kedua corak ini, dalam fiqh kemudian dikenal dengan ahl al-tarjih atau mujtahij tarjih. diantara ulama’ ini adalah; al-Qadwari dan Abu Bakr ibn ‘Abd al-Jalil al-Marghainaini, pemilik buku induk mazhab Hanafi yang terkenal, ya’ni al-Hidayah. Sedangkan dari mazhab Syafi’I di antaranya adalah Imam al-Haramain.
Fokus kedua adalah tarjih atau penyelesaian pendapat, yang di lakukan dengan dua pendekatan, yakni dari segi periwayatan dan dari segi diroyah(analisa substansi hukum). Dari kedua corak ini, dalam fiqh kemudian dikenal dengan ahl al-tarjih atau mujtahij tarjih. diantara ulama’ ini adalah; al-Qadwari dan Abu Bakr ibn ‘Abd al-Jalil al-Marghainaini, pemilik buku induk mazhab Hanafi yang terkenal, ya’ni al-Hidayah. Sedangkan dari mazhab Syafi’I di antaranya adalah Imam al-Haramain.
Fokus ketiga
adalah upaya mengukuhkan eksistensi mazhab(konsolidasi mazhab) dengan cara
mengekspos atau mempublikasikan keunggulan dan kelebihan imam mazhab serta
dengan mengetahkan argument sebagai bukti akurasi hasil ijtihad imam mazhab dan
mencari titik kelemahan pendapat hokum yang bersebrangan dengan imam
masing-masing.
C. Periode masa stagnasi dan kemunduran (656 -Abad 15 H/ 1258-Abad 21M).
1). Periode
masa stagnasi dan kemunduran tasyri’
Periode masa
stagnasi, sebagai kelanjutan dari tradisi taklid yang tumbuh pada masa
sebelumnya , di susul kemudian dengan masa kebangkitan atas kesadaran umat dari
ketertinggalan mereka di berbagai bidang. Masa stagnasi yang berlangsung hingga
kisaran abad ke 12 merupakan masa ketika umat Islam hanya mengandalkan
pemikiran imam-imam mazhab terdahulu. Khudlari bik mengatakan, “Tidak ada
seorangpun yang(pasca periode imam mazhab) yang mencapai skill mujtahid kecuali
hanya sedikit dari mereka”. Ulama’ yang bisa menggantikan mereka di antaranya;
‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam(w.660H), Ahmad Ibn Taimiyah(w.728H), Taqi al-Din
al-Subqi(w.756H), Taj al-Din al-Subqi(w.756H), Ibn al-Qayyim
al-Jauziyah(w.751H), Jalal al-Din al-Mahalli(w.864), Jalal al-Din
al-Suyuthi(w.911H),dan lain sebagainya.
Hal-hal yang menyebabkan stagnasi
1. Hancurnya Baghdad.
1. Hancurnya Baghdad.
Secara praktis
karena kota Baghdad dihancurkan oleh tentara mongol yang merupakan kota
kebudayaan dan pengetahuan Islam, berpengaruh hebat bagi kemunduran Islam pada
periode berikutnya, di samping itu juga, buju-buku perpustakaan dibakar dan
juga karena adanya kendali di bawah orang-orang komunis.
2. Miskomunikasi ulama’.
Kondisi semacam
ini sangat kontras di era ini, Ulama’ Mesir jarang yang kenal dengan Ulama’
Syam, begitu juga sebaliknya, di samping itu juga semangat berbagi keilmuan
mulai berkurang, di samping pancaran cahaya yang sudah mulai meredup
3. Intervensi ilmu-ilmu
non-syari’at
Masuknya
penjajah Eropa menjadikan dikotomi antar Negara dan syari’at (sekularisme),
begitu juga undang-undang Islam diganti dengan undang-undang versi barat, hal
ini berlangsung hingga kini kecuali segelintir dari Negara-negara Islam,
seperti Saudi Arab (Hanbali), Pakistan (Hanafi), Iran (Syi’ah Ja’fari).
4. Periode masa kebangkitan
Munculnya
tokoh-tokoh besar seperti, al-Nawawawy, Ibnu al-Taimiyyah, dan
al-Syaukany-tanpa menghilangkan rasa hormat pada mereka, ternyata belum mampu
membangkitkan ghairah umat untuk bangkit dari keterpurukan tersebut.
Walhasil kebangkitan mulai terlihat pada abad 12 hingga sekarang , yakni ketika intelektual Islam mulai melihat realitas yang menunjukkan bahwa hasil rumusan imam-imam masa lalu meskipun banyak yang masih relevan namun banyak pula yang perlu ditinjau ulang. Hal itu dilakukan demi terciptanya rumusan-rumusan hukum yang bisa menyesuaikan dengan realitas kekinian . mulalah diadakan diskusi-diiskusi membahas perubahan dalam mazhab-mazhab fiqih. Sehingga muncul beberapa tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab, Muhammad ‘Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-Maududi, Wahbah al-Zuhaili,Yusuf Qardhawi, dan lain sebagainya.
Walhasil kebangkitan mulai terlihat pada abad 12 hingga sekarang , yakni ketika intelektual Islam mulai melihat realitas yang menunjukkan bahwa hasil rumusan imam-imam masa lalu meskipun banyak yang masih relevan namun banyak pula yang perlu ditinjau ulang. Hal itu dilakukan demi terciptanya rumusan-rumusan hukum yang bisa menyesuaikan dengan realitas kekinian . mulalah diadakan diskusi-diiskusi membahas perubahan dalam mazhab-mazhab fiqih. Sehingga muncul beberapa tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab, Muhammad ‘Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-Maududi, Wahbah al-Zuhaili,Yusuf Qardhawi, dan lain sebagainya.
========================================
-----------------------------------------------
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara
etimologis, ijtihad berakar pada kata : “ja ha da” yang berarti: kesulitan atau
“kesusahan” Kata ijtihad berasal dari kata “aljuhdu” (dengan dhammah atau
fathah huruf jiim berarti kemauan dan kesulitan “masyaqqah”; kata ini sepola
dengan naf’ah. Misalnya ungkapan “wajtahid fil amri” yang berarti mencurahkan
kemampuan dan daya mencapai sesuatu guna mencapai apa yang diinginkan yang
berupa tujuan akhir.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”.
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Masa pasca masa Imam Mazhab ini terbagi menjadi 2 ya’ni; masa taklid dan konsolidasi mazhab atau pada fase disintegrasi dan masa periode masa stagnasi dan kemunduran tasyri’dan kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad) hingga masa sekarang atau modern.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”.
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Masa pasca masa Imam Mazhab ini terbagi menjadi 2 ya’ni; masa taklid dan konsolidasi mazhab atau pada fase disintegrasi dan masa periode masa stagnasi dan kemunduran tasyri’dan kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad) hingga masa sekarang atau modern.
========================================
-----------------------------------------------
DAFTAR
PUSTAKA
Syekh
Muhammad Ali as-sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1995
Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan
Sejarah, PT. Rajagrafindo Husada, 1996. Cet. 1
Suparman Usman, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002 )
--------------------------------------------------------
[1] Syekh Muhammad Ali as-sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995
[2] Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, PT. Rajagrafindo Husada, 1996. Cet. 1
[3] Suparman Usman, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar