IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa
BAB I
PENDAHULUAN
Dinar
emas dan dirham perak serta uang Bantu fulus (uang tembaga) merupakan mata uang
yang berlaku pada zaman Rasulullah Saw. Dasar transaksi uang tersebut digunakan
sehingga munculnya uang kertas paper money, tepatnya setelah perang dunia 1
pada tahun 1914 M. Semenjak itu, banyak Negara tidak menggunakan uang emas dan
untuk transaksi dan sebagai dasar mata uang. Realitas ini mejadikan para ulama
berbeda pandangan dalam mengaplikasikan hukum fiqih yang berlaku pada dirham
perak dan dinar emas terhadap mata uang kertas.Dikalangan mereka ada yang
berpendapat bahwa tidak wajib zakat pada uang kertas dengan alasan terbuat dari
kertas, sedangkan mata uang yang wajib di zakati hanya pada emas dan perak.
Sebagian
lagi ada yang berpendapat uang kertas ini bukan objek suatu riba, karena
menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan riwayat dari Hambali bahwa illat riba pada
emas dan perk adalah nilai harga. Dan sedangkan pada uang kertas berlaku
hitungan. Dalam perekonomian konvensional, masalah permintaan uang
kurang begitu jelas, karena dalam perekonomian non islam, menjadikan uang
sebagai komoditas, dan lebih bahaya lagi dalam perkonomian konvensional pada
saat sekarang uang malah banyak di perdagangkan dari pada sebagai alat tukar
dalam perdagangan. Dan di sini kami mencoba membahas bagaimana sebenarnya uang
dan permintaan uang dalam islam.
Tak
sepantasnya kita sebagai ummat islam tak mau tahu dengan sejarah uang dalam
islam, apakah uang kertas yang selama ini kita gunakan tidak diinginkan oleh
agama atau sebaliknya, bisa jadi orang-orang yahudi maupun orang terdahulu
tidak menginginkan dinar dan dirham sebagai alat untuk transaksi dalam proses perdagangan,
boleh jadi karena mereka tak sepaham dengan ummat islam terdahulu.
Mudah-mudahan dalam makalah ini kita mendapatkan sebuah penjelasan yang
diinginkan teman-teman sekalian maupun dosen pembimbing saya pada mata kuliah
Dasar-dasar ekonomi islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Mata Uang Islam |
A. DEFINISI MATA UANG
1.
Definisi uang secara etimologi (bahasa)
Definisi
uang (nuqud) ada beberapa makna:
a.
Al-Naqdu: yang baik dari dirham, dikatakan dirhamun naqdun, yakni baik. ini
adalah sifat.
b. Al-Naqdu: meraih dirham, dikatakan meraih naqada al- darahima yanquduha naqdan, yakni meraih nya (menggegam, menerima).
b. Al-Naqdu: meraih dirham, dikatakan meraih naqada al- darahima yanquduha naqdan, yakni meraih nya (menggegam, menerima).
c.
Al-Naqdu: membedakan dirham dan mengeluarkan yang palsu. Sibawaihi bersyair:
“Tanfi yadaha al-Hasna fi kulli Hajiratin- Nafya al-Darahima Tanqadu al-Shayarifu”
yang bermakna;” Tangannya (unta) mengais-ngais di setiap padang pasir memilah-milah dirham oleh tukang uang (pertukaraan, pemeriksaann, pembuaat uang)’
“Tanfi yadaha al-Hasna fi kulli Hajiratin- Nafya al-Darahima Tanqadu al-Shayarifu”
yang bermakna;” Tangannya (unta) mengais-ngais di setiap padang pasir memilah-milah dirham oleh tukang uang (pertukaraan, pemeriksaann, pembuaat uang)’
d.
AL-Naqdhu: Tunai, lawan tunda, yakni memberikan bayaran segera. Dalam hadis
jabir: “Naqadani al-Tsaman”, yakni dia membayarku harga tunai. Klemudian
digunakan atas yang dibayarkan, termaksud penggunaan mas dar (akar kata)
terhadap isim maf’ul (menunjukkan objek).
Dalam
fiqih Islam biasa digunakan istilah nuqud atau tsaman untuk mengekspresikan
uang. Definisi nuqud dalam Islam, antara lain:
· Nuqud
adalah semua hal yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan
transaksi, baik Dinar emas, Dirham perak, maupun Fulus tembaga.
· Nuqud
adalah segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai media pertukaran dan
pengukur nilai yang boleh terbuat dari bahan jenis apa pun.
· Nuqud
adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari
logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh
lembaga keuangan pemegang otoritas.
· Nuqud
adalah satuan standar harga barang dan nilai jasa pelayanan dan upah yang
diterima sebagai alat pembayaran.
2.
Istilah Nuqud dalam istilah fuqaha,
Kata
Nuqud barang-barang murah. Kata Dirham, Dinar dan Wariq terdapat tidak terdapat
dalam Alquran mamupun hadis Nabi Saw. Mereka mengunakan kata Dinar untuk
menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas, kata Dirham unyuk menunjukan alat
tukar yang terbuat dari perak.Mereka juga menggunakan kata Wariq untuk
menunjukkan Dirham perak, kata ‘Ain untuk menunjukkan Dinar emas.Sedang kata
fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang di gunakan untuk membeli,
dalam Al Quran dan Hadis. Firman Allah Swt (QS Ali Imran): 75
75.
di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta
yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang
jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya
kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. yang demikian itu lantaran mereka
mengatakan: "tidak ada dosa bagi Kami terhadap orang-orang ummi. mereka
berkata Dusta terhadap Allah, Padahal mereka mengetahui.
Yang
mereka maksud dengan orang-orang Ummi dalam ayat ini adalah orang Arab. Dan
pada ayat yang lainnya (QS Yusuf ): 20.
20.
dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham saja,
dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.
Maksud
ayat ini yaitu, Hati mereka tidak tertarik kepada Yusuf karena Dia anak temuan
dalam perjalanan.Jadi mereka kuatir kalau-kalau pemiliknya datang
mengambilnya.oleh karena itu mereka tergesa-gesa menjualnya Sekalipun dangan
harga yang murah.
Dan
pada ayat yang lainnya (QS Kahfi): 19
19.
dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara
mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah
kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari
atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih
mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di
antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah
Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan
itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorangpun.
Nabi
Saw. Bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan: “jangan
kalian jual santu dinar dengan dua dinar, dan satu dirham dengan dua dirham.”
Juga Nabi Saw bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Abu Sai’d al-Khudry:
“jangan kalian jual emas dengan emas, perak dengan perak kec uali sama nilai,
ukuran dan timbangannya.
Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang di cetak, tetapi mencakup seluruh jenisnya. Al-Syarwani berkata: “(dan uang) yakni emas dan perk sekalipun bukan cetakan. Dan pengususan terhadap cetakan sangat di hindari dalam padangan (‘Urf) para fuqaha.’
Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang di cetak, tetapi mencakup seluruh jenisnya. Al-Syarwani berkata: “(dan uang) yakni emas dan perk sekalipun bukan cetakan. Dan pengususan terhadap cetakan sangat di hindari dalam padangan (‘Urf) para fuqaha.’
Jadi
dirham dan dinar merupakan alat standar ukuran yang di bayarkan sebagai
pertukaran komoditas dan jasa.Keduanya adalah unit hitungan yang memiliki
kekuatan nilai tukar pada bendanya, bukan pada perbandingan dengan komoditas
atau jasa, Karena segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga bagi keduanya.
Imam Ghazali (wafat tahun 505 H) berkata: Allah menciptakan dinar dan dirham
sebagai hakim penengah diantara seluruh harta sehingga seluruh harta bisa di
ukur dengan keduanya. Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran
minyak za’faran ini menyamai 100.keduanya kira-kira sama dengan satu ukuran
maka keduanya bernilai sama. Dia juga berkata: Kemudian di sebabkan jual beli
muncul kebutuhan terhadap dua mata uang.
Seseorang
yang ingin makanan dengan baju, dari mana dia mengetahui ukuran makanan dari
nilai baju tersebut.Berapa? Jual beli terjadi pada jenis barang yang berbeda
seperti di jual baju dengan makanan dan hewan dengan baju, barang-barang ini
tidak sama, maka diperlukan “hakim yang adil” sebagai penengah dari kedua orng
yang ingin bertran saksi dan berbuat adil satu dengan yang lain. Keadilan itui
di tuntut dari jenis harta.Kemudian di perlukan jenis harta yang paling
bertahan lama adalah barang tambang.Maka di buatlah uang dari emas, perak, dan
logam.
Beliau
mengisyaratkan uang sebagai unit hitungan yang digunakan untuk mengukur nilai
harga komoditas dan jasa.Demikian juga beliau mengisyaratkan uang sebagai alat
simpanan karena itu dibuat dari jenis harta yang bertahan lama karena kebutuhan
yang berkelanjutan sehingga betul-betul bersifat cair sehingga dapat di gunakan
pada waktu yang di kehendaki. Ibnu Khaldun juga mengisyaratkan uang sebagai
alat simpanan dalam perkataan beliau: “ kemudian Allah Ta’ala menciptkan dari
dua barang tambang emas dan perak, sebagai nilai untuk setiap harta. Dua jenis
ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang di dunia kebanyakannya.” Ibnu
Rusyd (wafat tahun 595 H) berkata: “ketika seseorang susah menemukan nilai
persamaan antara barang-barang yang berbeda, jadikan dinar dan dirham untuk mengukurnya.
Apabila seseorang menjual kuda dengan beberapa baju, nilai harga kuda itu
terhadap beberapa kuda adalah nilai harga baju itu terhadap beberapa baju.Maka
jika kuda itu bernilai 50, tentunya baju-baju jjuga harus bernilai 50.”
Demikian
jelaslah bahwa fuqaha’ memberikan definisi uang dari penjelasan dengan melihat
fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu melalui tiga fugsi:
a.
Sebagai standar ukuaran menentukan nilau harga komoditas dan jasa.
b.
Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa.
c.
Sebagai alat simpanan. Fungsi ini di singgung oleh al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.
Kemudian
ada diantara fuqaha’ yang mempertegas peran tradisi (‘Urf) dalam pengukuhan
uang, dan tidak terbatas pada dua mata uang yang ada. Kenyataan ini diperkuat
pernyataan-pernyataan berikut.
1.
Perkataan Sayyidina Umar Bin Khatab:” Aku berkeingiunan membuat dirham dari
kulit unta.” Lalu ada yang memberi komentar: “akhirnya beliau urungkan
niatnya,. pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau sempat berpikir untuk
mencetak uang dari kulit Unta, tapi tidak dilakdanakan karena khawatir unta
akan punah yang pada sisi lain berfungsi sebagai alat transportasi dan Alat
jihad.”
2.
Perkataan Imam Malik Bin Anas: “seandainya orang-orang membolehkan kulit-kulit
hingga ada sakkah (stempel) dan benda, tentu aku benci (hukumnya makruh) dijual
dengan emas dan perak secara tunda.” Yakni, jika orang-orang mengakui keabsahan
kulit-kulit itu sebagai uang, maka diberlakukan hokum-hukum yang berlaku pada
emas dan perak. Seperti diisyaratkannya tunai dalam satu majlis (Pertemuan)
ketika terjadi transaksi pertukaran dengan mata uang lain.
Maka,
sekarang bisa dikemukakan definisi uang setelah memperhatikan ungkapan para
Fukaha seperti berikut ini. Uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai
standar ukuran nilai harga dimedia Transaksi pertukaran. Sedangkan berdasarkan
pada ungkapan Al Ghazali dan Ibnu khaldun sebagai berikut: Uang adlah apa yang
digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran,
dan media simpanan.
3.
Definisi Uang menurut Para Ahli Ekonomi Masih belum ada kata sepakat tentyang
difinisi uang yang spesifik. Definisi-definisi mereka berbeda disebabkan
perbedaan cara pandang mereka terhadap hakikat uang Menurut Dokter Fuad Dahman,
defenisi-definisi uang yang di ajukan banyak dan berbeda-beda. Semakin
bertambah seiring perbedaan para penulis dalam memandang hakikat uang dan
perbedaan pengertiannya dalam pandangan mereka.
Dokter Muhammad Zaki Syafi’i mendefinisikan uang sebagai: “segala sesuatu yang diterima khlayak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban” sedangkan J.P Coraward mendefinisikan uang sebagai:”segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai media pertukaran, sekaligus berfungsi sebagi standar ukuran nilai harga dan media penyimpan kekayaan.
Dokter Muhammad Zaki Syafi’i mendefinisikan uang sebagai: “segala sesuatu yang diterima khlayak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban” sedangkan J.P Coraward mendefinisikan uang sebagai:”segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai media pertukaran, sekaligus berfungsi sebagi standar ukuran nilai harga dan media penyimpan kekayaan.
Boumul
dan Gandlre berkata:”uang mencakkup seluruh sesuatu yang diterima secara luas
sebagi alat pembayaran, diakui secara luas sebagai alat pembayaran utang-utang
dan pembayaran harga barang dan jasa.” Dokter Nazhim Al-Syamri berkata:”setiap
sesuatu yang diterima semua pihak dengan legalitas tradisi (urf) atau
undang-undang, atau nilai sesuatu itu sendiri, dan mampu berfungsi sebagi media
dalam proses transaksi pertukaran yang beragam terhadap komoditi dan jasa, juga
cocok utnuk menyelesaikan utang piutang dantanggungan, adalah termasuk dalam
lingkup uang. Dari sekian definisi yang diutarakan, kita bisa membedakan dalam
tiga segi: pertama, definisi dari segi fungsi-fungsi ekonomi sebagi standar
ukuran nilai, media pertukaran dan alat pembayaran yang tertunda (Deffered
Payment).
Kedua,
definisi uang dengan melihat karakteristiknya yaitu segala sesuatu yang
diterima secara luas oleh tiap-tiap individu.Ketiga, definisi uang dari segi
peraturan perundangan sebagi segala sesuatu yang memiliki kekuatan hokum dalam
menyelesaikan kewajiban dan tanggungan.Disini kita menemukan bahwa para ahli
ekonomi membedakan antara uang dan mata uang.Mata uang adalah setiap sesuatu
yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang
bersifat dapat memenuhi tangungan dan kewajiban, serta diterima secar
luas.Sedangkan uang lebih umum dari mata uang, karena mencakup mata uang dan
yang serupa dengan uang (uang perbankan).Dengan demikian, setiap mata uang
adalah uang, tapi tidak setiap uang itu mata uang antara keduanya dinamakan
hubungan umum khusus mutlak.
B.
FUNGSI UANG DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam
setiap sistem perekonomian, fungsi utama uang selalu sebagai alat tukar (medium
of exchange). Dari fungsi utama ini diturunkan fungsi-fungsi lain seperti uang
sebagai standard of value, store of value, unit of account dan standard of
deferred payment. Mata uang manapun niscaya akan berfungsi seperti ini. Dalam
sistem perekonomian kapitalis, uang dipandang tidak saja sebagai alat tukar
yang sah (legal tender) melainkan juga dipandang sebagai komoditas.Dengan
demikian, menurut sistem ini, uang dapat diperjual belikan dengan kelebihan
baik on the spot maupun secara tangguh.Dalam perspektif ini uang juga dapat
disewakan (leasing).
Dalam
Islam, apapun yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai
medium of exchange. Ia bukan suatu komoditas yang bisa dijualbelikan dengan
kelebihan baik secara on the spot maupun bukan. Satu fenomena penting dari
karakteristik uang adalah bahwa ia tidak diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak
diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan diperlukan untuk membeli barang
yang lain sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Inilah yang dijelaskan
oleh Imam Ghazali bahwa emas dan perak hanyalah logam yang di dalam
substansinya (zatnya itu sendiri) tidak ada manfaatnya atau
tujuan-tujuaannya.Menurut beliau dalam kitabnya Ihya Ulumiddin “Kedua-duanya
tidak memiliki apa-apa tetapi keduanya berarti segala-galanya”. Keduanya ibarat
cermin, ia tidak memiliki warna namun ia bisa mencerminkan semua warna.
Sekalipun
pada masa awal Islam masyarakat sudah terbisa bermuamalah dengan dinar dan
dirham, kemungkinan untuk menjadikan barang lain sebagai mata uang yang
berfungsi sebagai medium of exchange telah muncul dalam pikiran sahabat.
Misalnya Umar bin Khattab pernah mengatakan, “ Aku ingin (suatu saat)
menjadikan kulit unta sebagai alat tukar.” Pernyataan ini keluar dari bibir
seorang yang amat paham tentang hakikat uang dan fungsinya dalam ekonomi.
Menurut Umar, sesungguhnya uang sebagai alat tukar tidak harus terbatas pada
dua logam mulia saja seperti emas dan perak. Kedua logam mulia ini akan
mengalami ketidakstabilan manakala terjadi ketidakstabilan pada sisi permintaan
maupun penawarannya. Karena itu, apapun, sesungguhnya dapat berfungsi menjadi
uang termasuk kulit unta. Dalam pandangannya, ketika suatu barang berubah
fungsinya menjadi alat tukar (uang) maka fungsi moneternya akan meniadakan
fungsinya atau paling tidak akan mendominasi fungsinya sebagai komoditas biasa.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa uang sebagai alat tukar bahannya
bisa diambil dari apa saja yang disepakati oleh adat yang berlaku ( ‘urf) dan
istilah yang dibuat oleh manusia. Ia tidak harus terbatas dari emas dan perak.
Misalnya, istilah dinar dan dirham itu sendiri tidak memiliki batas alami atau
syari’. Dinar dan dirham tidak diperlukan untuk dirinya sendiri melainkan
sebagai wasilah (medium of exchange) Fungsi medium of exchange ini tidak
berhubungan dengan tujuan apapun, tidak berhubungan dengan materi yang menyusunnya
juga tidak berhubungan dengan gambar cetakannya, namun dengan fungsi ini tujuan
dari keperluan manusia dapat dipenuhi (Lihat, Majmuatul Fatawa).
Pada
umumnya para ulama dan ilmuwan sosial Islam menyepakati fungsi uang sebagai
alat tukar saja. Deretan ulama ternama seperti Imam Ghazali, Ibnu Taymiyyah,
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Raghib al-Ashbahani, Ibnu Khaldun, al-Al-Maqrizi
dan Ibnu Abidin dengan jelas menandaskan fungsi pokok uang sebagai alat tukar.
Karena itu mata uang haruslah bersifat tetap, nilainya tidak naik dan
turun.Uang kertas yang lazim digunakan di zaman sekarang disebut fiat money. Dinamakan
demikian karena kemampuan uang untuk berfungsi sebagai alat tukar dan memiliki
daya beli tidak disebabkan karena uang tersebut dilatarbelakangi oleh emas.
Dulu
uang memang mengikuti standar emas (gold standard).Namun rezim ini telah lama
ditinggalkan oleh perekonomian dunia pada pertengahan dasa warsa 1930-an
(Inggris meninggalkannya pada tahun 1931 dan seluruh dunia telah
meninggalkannya pada tahun 1976). Kini uang kertas menjadi alat tukar karena
pemerintah menetapkannya sebagai alat tukar. Sekiranya pemerintah mencabut
keputusannya dan menggunakan uang dari jenis lain, niscaya uang kertas tidak
akan memiliki nilai sama sekali. Banyak kalangan yang ragu-ragu atau bahkan
tidak tahu hukum uang kertas ditinjau dari sisi syariah. Ada yang berpendapat
bahwa uang kertas tidak berlaku riba, sehingga kalau orang berutang Rp.
100.000,00 kemudian mengembalikan kepada pengutang sebanyak Rp. 120.000,00 dalam
tempo tiga bulan, maka tidak termasuk riba.
Mereka
beranggapan bahwa yang berlaku pada zaman Nabi SAW adalah uang emas dan perak
dan yang diharamkan tukar-menukar dengan kelebihan adalah emas dan perak,
karena itu uang kertas tidak berlaku hukum riba padanya. Jawabannya dapat kita
cari dari penjelasan yang lalu bahwa mata uang bisa dibuat dari benda apa saja,
termasuk kulit unta, kata Umar bin Khattab. Ketika benda itu ditetapkan sebagai
mata uang sah, maka barang itu berubah fungsinya dari barang biasa menjadi alat
tukar dengan segala fungsi turunannya. Jumhur ulama sepakat bahwa illat dalam
emas dan perak yang diharamkan pertukarannya kecuali serupa dengan serupa, sama
dengan sama, oleh Rasulullah SAW adalah karena “tsumuniyyah” , yaitu
barang-barang tersebut menjadi alat tukar, penyimpan nilai di mana semua barang
ditimbang dan dinilai dengan nilainya.
Karena
uang kertas secara de facto dan de jure telah menjadi alat pembayaran sah,
sekalipun tidak dilatarbelakangi lagi oleh emas, maka kedudukannya dalam hukum
sama dengan kedudukan emas dan perak yang pada waktu Alquran diturunkan
merupakan alat pembayaran yang sah. Karena itu riba belaku pada uang
kertas.Uang kertas juga diakui sebagai harta kekayaan yang harus dikeluarkan
zakat dari padanya.Zakatpun sah dikeluarkan dalam bentuk uang kertas. Begitu
pula ia dapat dipergunakan sebagai alat untuk membayar mahar.[1]
C.
PERSPEKTIF UANG DALAM EKONOMI ISLAM
Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat tidak dapat melakukan semuanya secara
seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan oleh pihak lain, dan untuk
mendapatkannnya seorang individu harus menukarnya dengan barang atau jasa yang
dihasilkannya. Namun, dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal yang tidak
praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan, setiap individu harus menunggu
atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang dibutuhkannya dan
secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang dimilikinya. Oleh karena
itu, dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi sebagai media pertukaran dan
satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Jauh sebelum bangsa
Barat menggunakan uang dalam setiap transaksinya, dunia Islam telah mengenal
alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit
menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai
ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai dinar dan dirham.
Uang
dalam bahasa Arab disebut “Maal”, asal katanya berarti condong, yang berarti
menyondongkan mereka kearah yang menarik, dimana uang sendiri mempunyai daya
penarik, yang terbuat dari logam misalnya-tembaga, emas, dan perak. Menurut
Umar ra.diriwayatkan[2],
uang adalah segala sesuatu yang dikenal dan dijadikan sebagai alat pembayaran
dalam muamalah manusia. Berdasarkan sejarah Islam, pada masa Rasulullah
SAW.mata uang menggunakan sistem bimetallic standard (emas dan perak) demikian
juga pada masa Bani Umayyah dan Bani Abassiyah. Dalam pandangan Islam mata uang
yang dibuat dengan emas (dinar) dan perak (dirham) merupakan mata uang yang
paling stabil dan tidak mungkin terjadi krisis moneter karena nilai intrinsik
sama dengan nilai riil. Mata uang ini dipergunakan bangsa arab sebelum
datangnya Islam.
Dalam
Alquran ada beberapa ayat yang menunjukkan pengertian uang dan keabsahan
penggunaan uang sebagai pengganti sistem barter. Kata-kata yang menunjukkan
pengertian ‘uang’ dalam Alquran ada beberapa macam, yaitu :
a.
Dinar ( د ينا ر ), yaitu QS. Ali
Imran : 75
b.
Dirham ( د ر هـم / د را هـم ), yaitu QS. Yusuf : 20
c.
Emas dan perak ( ذ هـب / فضـة ), penggunaan kata-kata emas dan perak ini banyak terdapat dalam
al-Qur’an antara lain pada QS. At-Taubah : 34.
d.
Waraq atau uang tempahan perak ( و ر ق ),
yaitu pada QS al-Kahfi ayat 19
e.
Barang-barang niaga yang biasa dijadikan alat tukar ( بضـا
عـة ), tersebut antara lain pada QS. Yusuf ayat 88.
Ekonomi
Islam secara jelas telah membedakan antara money dan capital. Dalam Islam, Uang
adalah adalah public good/milik masyarakat, dan oleh karenanya penimbunan uang
(atau dibiarkan tidak produktif) berarti mengurangi jumlah uang beredar.
Implikasinya, proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Disamping
itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada
sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan
sadaqah).Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik
terhadap kelangsungan perekonomian.Oleh karenanya Islam melarang
penumpukan/penimbunan harta, memonopoli kekayaan, “al kanzu” sebagaimana telah
disebutkan dalam QS. At Taubah 34-35 berikut:
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani
benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
”Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka
jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu
dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
Uang
Dalam Pandangan al-Ghazali & Ibnu Khaldun, Jauh sebelum Adam Smith menulis
buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766 di Eropa., Abu Hamid al-Ghazali
dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam
perekonomian.Beliau menjelaskan, uang berfungsi sebagai media penukaran, namun
uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.Maksudnya adalah uang diciptakan
untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran
tersebut, dan uang bukan merupakan sebuahkomoditi.Menurut al-Ghazali, uang
diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua
warna.[3]
Maknanya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua
barang. Dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan
kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang
digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Pembahasan
mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu
Khaldun.Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh
banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi
negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif.Apabila suatu negara
mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya
pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya.[4]
Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan
menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan
permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai
uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau
penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran
(supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga
keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak
daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya.
Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan
terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang.
Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya
beli, maka harga akan turun kembali.
Merujuk
kepada Alquran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah
seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara
dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti
memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi,
sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan
bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri
seribu dirham. Mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan
mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu
dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu
yang lebih panjang.
D.
SEJARAH UANG
Para
ahli ekonomi modern setuju bahwa penciptaan mata
uang merupakan peristiwa sangat signifikan dalam sejarah ekonomi
umat manusia. Itu berpijak pada landasan kepentingan pengembangan ekonomi;
memfasilitasi pembagian tenaga kerja, pendirian industri, pemasaran barang dan
jasa dan
lain sebagainya. Pada sisi komersial dan
eksistensi social masyarakat, uang merupakan hasil ciptaan yang esensial, di
mana segala sesuatunya berpijak pada dasar itu.Uang memiliki berbagai fungsi
yang berbeda, seperti sebagai alat tukar nilai, media pertukaran, nilai
simpanan dan standar pembayaran yang tertunda.Dalam pandangan ahli ekonomi,
fungsi sebagai media pertukaran merupakan yang paling penting. Sebagaimana
pernyataan Crowther lagi : “uang harus difungsikan sebagai alat pengukur nilai,
medium pertukaran dan simpanan kekayaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
fungsi uang adalah pertama sebagai alat tukar/sehingga dengan uang bisa
ditentukan nilai dari suatu transaksi.
Ibnu
Taimiyyah mengatakan : fungsi uang adalah athman (jamaknya thaman adalah harga
atau sesuatu yang dibayarkan sebagai pengganti harga). Dimaksudkan sebagai alat
tukar dari nilai suatu benda.Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku
The Wealth of Nation, seorang ulama bernama Abu Hamid al-Ghazali telah membahas
fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan fungsi uang adalah sebagai
alat untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai wajar dari pertukaran
tersebut. Uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat
merefleksikan semua warna.
Sehingga apabila fungsi dari uang itu sendiri sudah berubah dari esensi dasarnya sehingga mengakibatkan terjadinya inflasi dan deflasi. Di samping itu pula nilai intrinsic yang ada dalam sebuah mata uang sudah tidak sesuai, sehingga mengakibatkan terjadinya permainan dan kolusi.
Sehingga apabila fungsi dari uang itu sendiri sudah berubah dari esensi dasarnya sehingga mengakibatkan terjadinya inflasi dan deflasi. Di samping itu pula nilai intrinsic yang ada dalam sebuah mata uang sudah tidak sesuai, sehingga mengakibatkan terjadinya permainan dan kolusi.
Di
dalam sejarah Islam belum pernah terjadi krisis seperti yang sekarang terjadi,
mata uang memang ralatif stabil manakala nilainya masih disandarkan pada emas.
Sejak zaman Nabi SAW hingga Dinasti Ustmaniyah, hanya dikenal uang emas dan
perak, uang kertas tidak dikenal sama sekali. Sebenarnya mata uang ini dibentuk
dan dicetak oleh kekaisaran Romawi, kata dinar berasal dari kata “Denarius”
(Bahasa Romawi Timur), dan dirham berasal dari kata “Drachma” (Bahasa Persia). (Leicester,
1990). Kemudian bangsa Arab mengadopsinya untuk dijadikan system mata uang
mereka.Dan sepanjang kehidupannya Nabi SAW tidak pernah merekomendasikan
perubahan apapun terhadap mata uang, artinya Nabi SAW dan para sahabat yang
menjadi khalifah sesudahnya membenarkan praktek ini.
Dalam
prosesnya memang terjadi perubahan, misalkan pada masa Umar, beliau hanya
merubah dengan pemberian gambar tambahan bertuliskan alhamdulillah dan
dibaliknya bertuliskan Muhammad Rasulullah.Setiap sepuluh dirham beratnya 4
mitsqal. Beliau sempat mencetaknya sampai akhir masa jabatannya, namun belum
sempat mencetak uang dinar yang lain. Kemudian di masa khalifah Abdul Malik bin
Marwan, dia mencetak mata uang baru dinar dan dirham di bawah pengawasan pemerintah.
Dengan bentuk dan karakteristik pencetakan islami dan penggunaan dinar dan
dirham ini berakhir seiring dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada
tahun 1924 bersamaan dengan berakhirnya perang dunia I.
Secara alamiyah transaksi yang berada di daaerah Mesir atau Syam menggunakan dinar sebagai alat tukar, sementara itu di kekaisaran Persia menggunakan dirham.
Secara alamiyah transaksi yang berada di daaerah Mesir atau Syam menggunakan dinar sebagai alat tukar, sementara itu di kekaisaran Persia menggunakan dirham.
Ekspansi
yang dilakukan Islam ke wilayah kekaisaaran Persia (Irak, Iran, Bahrain dan
Transoxania) dan kekaisaran Romawi (Syam, Mesir dan Andalusia) menyebabkan
perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan imam Ali,
dinar dan dirham merupakan satu-satunya mata uang yang digunakan.Dinar dan
dirham dinilai mempunyai nilai yang tetap.Karena itu, tidak ada masalah dalam perputaran
uang.
Dijadikannya uang sebagai alat tukar adalah untuk menghindari transaksi yang merusak. Dimana tanpa adanya nilai dasar dari suatu barang maka akan sulit menentukan berapa nilai suatu barang itu. Misalnya dengan pertukaran barter bisa mengundang niat buruk ke dalam berbagai macam transaksi, dan akibatnya “yang merusak moral” yang ditimbulkan boleh jadi merupakan alasan mengapa Nabi SAW pertukaran barter.[5]
Dijadikannya uang sebagai alat tukar adalah untuk menghindari transaksi yang merusak. Dimana tanpa adanya nilai dasar dari suatu barang maka akan sulit menentukan berapa nilai suatu barang itu. Misalnya dengan pertukaran barter bisa mengundang niat buruk ke dalam berbagai macam transaksi, dan akibatnya “yang merusak moral” yang ditimbulkan boleh jadi merupakan alasan mengapa Nabi SAW pertukaran barter.[5]
BAB
III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Demikian
jelaslah bahwa fuqaha’ memberikan definisi uang dari penjelasan denan melihat
fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu melalui tiga fugsi:
a.
.sebagai standar ukuaran menentukan nilau harga komoditas dan jasa.
b.
Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa.
c.
Sebagai alat simpanan. Fungsi ini di singgung oleh al-Ghazali dan ibnu Khaldun.
Pada akhirnya pembahasan ini kita dapat mengutib beberapa kesimpulan: Pertama, hukum Islam sifatnya flesibel. Sebab, dalil-dalil dasar menetapkan bahwa permasalahan yang ada di dunia ini, sekalipun tidak akan berakhir, tapi ia tidak akan keluar dari prinsi-prinsip dasar yang telah ditetapkan. Kedua, dizaman Rasulullah Saw uang tidak di cetak, tetapi ikrarnya beliauterhadap timbangan penduduk Makkah, berarti menyetujui untuk menetapkan berat uang- sekalipun ini hanya perkiraan loqika-sehingga semua takaran dan ukuran yang di tetapkan oleh hukum berasal dari berat tersebut. Adapun Negara Romawi dan Persia, keduanya mengalami kekacauan yang di sebabkan oleh tidak berpegangnya pada timbangan tertentu.
Ketiga, permintaan uang dalam Islam
Pada akhirnya pembahasan ini kita dapat mengutib beberapa kesimpulan: Pertama, hukum Islam sifatnya flesibel. Sebab, dalil-dalil dasar menetapkan bahwa permasalahan yang ada di dunia ini, sekalipun tidak akan berakhir, tapi ia tidak akan keluar dari prinsi-prinsip dasar yang telah ditetapkan. Kedua, dizaman Rasulullah Saw uang tidak di cetak, tetapi ikrarnya beliauterhadap timbangan penduduk Makkah, berarti menyetujui untuk menetapkan berat uang- sekalipun ini hanya perkiraan loqika-sehingga semua takaran dan ukuran yang di tetapkan oleh hukum berasal dari berat tersebut. Adapun Negara Romawi dan Persia, keduanya mengalami kekacauan yang di sebabkan oleh tidak berpegangnya pada timbangan tertentu.
Ketiga, permintaan uang dalam Islam
1.
Karena adanya kebutuhan.
2.
Untuk berjaga-jaga sebagai kebuthan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono,
Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonesia.
A.
Karim, Adiwarman, 2007, Ekonomi Makro Islami, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
EkonomIslam(Online)(http://www.infogue.com/bisnis_keuangan/konsep_uang_dalam_ekonomi_islam/),
diakses 10 Oktober 2009
[1]http://ekisopini.blogspot.com/2009/09/memahami-konsep-uang-dan-modal-dalam.html
[2]
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007) hlm. 10
[3]
Karim. Ekonomi Makro Islami. hlm. 17.
[4]
Karim. Ekonomi Makro Islami. hlm. 21
[5]
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonesia: .
2003) hlm. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar