Makalah Mengenai Upaya Hukum - Latar Belakang, Pembahasan & Macam-macamnya - IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa - googling makalah

ayo googling & cari tugas makalah mu

Ads

Jumat, 07 Desember 2018

Makalah Mengenai Upaya Hukum - Latar Belakang, Pembahasan & Macam-macamnya - IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa


Makalah Mengenai Upaya Hukum
 Latar Belakang, Macam-macamnya


IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa

 IAIN Zawiyah Cot Kala 
Langsa


-------------------------------------------------------------


------------------------

BAB I
PENDAHULUAN
     
      Latar belakang
Sejak dulu di Indonesia sudah terjadi kasus-kasus hukum, seperti halnya kasus korupsi, kasus perceraian, dan kasus-kasus yang lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, penyelesai hukum yang sekarang agak berbeda dengan penyelesaian hukum pada zaman sebelumnya. Sekarang ini, dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum itu, sebagian besar para pelaku menggunakan berbagai upaya hukum, agar dapat meringankan putusan hukum yang seringan-ringannya. Ada dari mereka yang mengajukan upaya banding, ada juga dari mereka yang menggunakan upaya kasasi ataupun upaya peninjauan kembali (PK).
Oleh karena itu perlu adanya pemaparan tentang apa yang dimaksud dengan upaya hukum beserta pembahasannya yakni mengenai upaya hukum yang akan di tempuh apabila pelaku masih tidak puas karena putusan hakim yang mungkin dinilai tidak adil dalam kasusnya. Upaya hukum tersebut meliputi banding, kasasi dan upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali.

--------------------------------------------------------------

------------------------


BAB II
PEMBAHASAN
     

     A. Pengertian Upaya Hukum
Yang dimaksud dengan upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.
Upaya hukum (pasal 1:12), hak dari terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU. Dua upaya yang dapat ditempuh:
1. Upaya hukum biasa, yaitu meliputi:
a. Banding
b. Kasasi
2. Upaya hukum luar biasa[1]
      a. Kasasi demi kepentingan hukum (Pasal 259), semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain dari putusan MA, Jaksa Agung, dapat mengajukan satu kali permohonan, putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
      b. Herziening, peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 263:1). Peninjauan ini diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Alasan pengajuan (pasal 263 ayat 2), apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui sebelum sidang berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan bebas dari segala tuntutan, atau ketentuan lebih ringan (novum), apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata. Pengadilan ditetapkan.
      3. Upaya hukum grasi
wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh Hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merubah sifat atau bentuk hukuman (pasal 14 UUD 1945)
Praperadilan (pasal 1:10) wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UU tentang, sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan tersangka/penyidik/penuntut umum, demi tegaknya hukum dan keadilan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka, keluarga atau pihak lain yang dikuasakan.

      B. Upaya Hukum biasa
KUHAP membedakan upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa merupakan Bab XVII sedangkan upaya hukum luar biasa Bab XVIII
Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian, Bagian Kesatu tentang Pemeriksaan Banding dan Bagian Kedua tentang Pemeriksaan Kasasi.

      1. Pemeriksaan Tingkat Banding
a. Pengertian banding
Banding artinya ialah mohon supaya perkara yang telah diputus oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa belum puas dengan keputusan Pengadilan tingkat pertama. Yang merupakan Pengadilan tingkat pertama adalah Pengadilan Agama (PA), sedangkan yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding adalah Pengadilan Tinggi Agama, (PTA) atau Pengadilan Tinggi Umum (PTU). (pasal 6 UU No.7/1989).
Putusan Pengadilan yang bisa diajukan banding adalah :
a.       Putusan yang bersifat pemidanaan.
b.      Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.
c.       Putusan dalam perkara cepat yang menyangkut perampasan kemerdekaan terdakwa.
d.      Putusan pengadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidik atau penuntutan.

            b. Syarat-syarat banding
                        Adapun yang merupakan syarat-syarat dari upaya banding adalah sebagai berikut :
a. Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.
            b. Diajukan dalam masa tenggang waktu banding.
            c. Putusan tersebut menurut hukum boleh dimintakan banding
            d. Membayar panjar biaya banding, kecuali dalam hal prodeo.
   e. Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding.
Untuk pemeriksaan tingkat banding dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang berperkara. Pihak lain di luar yang berperkara tidak berhak mengajukan banding (pasal 6 UU No. 20/1947), kecuali kuasa hukumnya. Untuk masa tenggang waktu pengajuan banding di tetapkan sebagai berikut : bagi pihak yang bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka masa bandingnya 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan. Sedangkan bagi pihak yang bertempat tinggal di luar hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka masa bandinya ialah 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan. (pasal 7 UU No. 20/1947).

c.   Mencabut permohonan banding
Sebelum permohonan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama atau Pengadilan Tinggi Umum, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon. Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama maka:[2]
a.       Pencabutan disampaikan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan.
b.      Kemudian oleh Panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding.
c.       Putusan baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah tenggang waktu banding  berakhir.
Pasal 233 ayat (1) KUHAP ditelaah dihubungkan dengan pasal 67 KUHAP maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding Kepengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa kekecualian.

d. Tujuan banding
Tujuan banding ada dua yaitu
      a. Menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya
      b. Untuk memeriksa baru untuk keseluruhan perkara itu.
Oleh karena itu banding sering disebut juga revisi. Penerikasan banding sebenarkan merupakan suatu penilaian baru. Jadi dapat diajukan saksi-saksi baru, ahli-ahli, dan surat-surat baru.
Yang berhak mengajukan banding adalah terdakwa atau yang dikuasakan khusus untuk itu atau penuntut umum. Waktu untuk mengajuakan banding adalah tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terndakwa yang tidak hadir. (pasal 233 ayat (1) dan (2) KUHAP). Dalam hal ini panitera mencatat dan membuat akta mengena hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara (Pasal 2344 ayat (2) KUHAP).
Dalam permintaan banding oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan (Pasal 233 ayat (3) KUHAP).
Jika waktu tujuh hari telah lewat tanpa dijatuhkan banding oleh yang bersangkutan maka yang bersangkutan dianggap telah menerima. Putusan (pasal 234 ayat (1) KUHAP) . Dalam hal ini panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akte tersebut pada berkas perkara (pasal 234 ayat (2) KUHAP).
Perlu di perhatikan “bebas murni” (bebas dari dakwaan tidak boleh dibanding) dan “bebas tidak murni” adalah suatu putusan yang bunyinya bebas hukum yang di namai juga lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (bedekt onsilag van rechtsvervolging)

      2. Pemeriksaan Tingkat Kasasi
a. Pengertian Kasasi
Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung (MA). Sedangkan pengertian Pengadilan Kasasi ialah Pengadilan yang memeriksa apakah judex fatie tidak salah dalam melaksanakan peradilan. Upaya hukum kasasi itu sendiri adalah upaya agar putusan PA dan PTA/PTU/PTN dibatalkan oleh MA karena telah salah dalam melaksanakan peradilan.
b. Syarat-syarat kasasi
Ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan kasasi, yaitu sebagai berikut :
a.       Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi.
b.      Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.
c.       Putusan atau penetapan PA dan PTA/PTU/PTN, menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
d.      Membuat memori kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985).
e.       Membayar panjar biaya kasasi (pasal 47).
f.        Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkutan.
   Untuk permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi yaitu, 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan (pasal 46 ayat (1) UU No. 14/1985). Apabila 14 (empat belas) hari telah lewat tidak ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan maka dianggap telah menerima putusan (pasal 46 ayat (2) UU No. 14/1985). Pemohon kasasi hanya dapat diajukan satu kali (pasal 43 UU No. 14/1985).
c. Alasan-alasan kasasi
MA merupakan putusan akhir terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding, atau Tingkat Terakhir dari semua lingkungan Peradilan.
Ada beberapa alasan bagi MA dalam tingkat kasasi untuk membatalkan putusan atau penetapan dari semua lingkungan peradilan, diantarannya ialah sebagai berikut :
a.       Karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b.      Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c.        Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (pasal 30 UU No. 14 /1985).
Suatu penetapan PA maupun PTA/PTU/PTN yang menurut hukum tidak dapat dimintakan banding, maka dapat dimintakan kasasi ke MA dengan alasan-alasan tersebut di atas. Untuk suatu putusan PA yang telah dimintakan banding kepada PTA/PTU/PTN, maka yang dimintakan kasasi adalah keputusan PTA tersebut, karena adanya banding tersebut berarti putusan PA telah masuk atau diambil alih oleh PTA/PTU/PTN.
Mencabut permohonan kasasi (pasal 49 UU No. 14/1985). Sebelum permohonan kasasi diputuskan oleh Mahkamah Agung maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lawan, apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada MA, maka :
  1. Pencabutan disampaikan kepada PA yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun lisan.
  2. Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan Kembali Permohonan Kasasi.
  3. Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi walaupun tenggang waktu kasasi belum habis.
  4. Berkas perkara tidak perlu di teruskan ke MA.
Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh Makamah Agung. Menurut KUHAP, suatu permohonan ditolak jika :
a.       Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas.
b.      Melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu 14 hari sesudah purusan disampaikan kepada terdakwa.
c.       Sudah ada putusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tersebut, kasasi hanya dilakukan hanya satu kali.
d.      Pemohon tidak mengajukan memori kasasi.
e.       Tidak ada alasan kasasi

      C. Upaya Hukum Luar Biasa
Tercantum didalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri atas dua bagian :[3]
1.      Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
2.      Peninjauan kembali putusan pengadialan yang Telah Melaporkan Kekuatan Hukum Tetap.

      Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
      Pengertian peninjauan kembali
Kata peninjauan kembali diterjemahkan dari kata “Herziening” Mr. M. H. Tirtaamijaya menjelaskan herziening sebagai berikut : itu adalah sebagai jalan untuk memperbaiki suatu putusan yang telah menjadi tetap-jadinya tidak dapat diubah lagi dengan maksud memperbaiki suatu kealpaan hakim yang merugikan si terhukum kalau perbaikan itu hendak dilakukan maka ia harus memenuhi syarat, yakni ada sesuatu keadaan yang pada pemeriksaan hakim, yang tidak diketahui oleh hakim itu, jika ia mengetahui keadaan itu, akan memberikan putusan lain.

·           Syarat-syarat peninjauan kembali
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk peninjauan kembali diantaranya sebagai berikut :
    1. Diajukan oleh pihak yang berperkara.
    2. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
    3. Membuat surat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.
    4. Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
    5. Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Adapun yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah para pihak yang berperkara atau ahli warisnya (yang dapat dibuktikan dengan akta dibawah tanda tangan mengenai keahliwarisannya yang didelegasi oleh Ketua Pengadilan Agama) apabila pemohon meninggal dunia (pasal 68 UU No. 14/1985), juga bisa dengan wakil yang secara khusus dikuasakan untuk mengajukan permohonan PK dengan bukti adanya surat kuasa. Adapun Permohonan PK diajukan dalam masa tenggang waktu yang tepat yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari.
Sebelum berlakunya KUHAP, belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.undang-undang tentang pokok kekuasaan kehakiman pada pasal 21 hanya menyebut kemungkinan peninjauan kemabli itu, tetapi pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :[4]
1.      Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu siding masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas ndari segala tuntutan hokum atau tuntuntan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
2.      Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain
3.      Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
   Dalam rancangan KUHP telah diatur tentang pemaafan oleh hakim (rechtelijkpat) yang mengatakan terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak ada pidana karena delik yng dilakukan ringan dan telah memperbaiki diri.
Dalam pasal 266 aayat (2) KUHAP ditemukan bahwa dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembaliu dapat diterimauntuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:
      a.Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya.
      b.Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dengan menjatuhkan putusan yang dapat beruapa:
a.       Putusan bebas
b.      Putusan lepas dari tuntutan hukum
c.       Putusan tidak dapat menerima putusan penuntut umum
d.      Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Upaya Hukum Oleh Kepala Pemerintahan
a. Grasi
Grasi di muat pada pasal 14 Undang- Undang Dasar 1945 yang rumusanya sebagai berikut :presiden memberi grasi,amnesti,abolisi ,dan rehabilitasi Menurut penjelasan resmi dari makna grasi tersebut merupakan hak presiden sebagai kepala Negara bukan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan .dengan demikian grasi tersebut tidak termasuk upaya hukum .grasi mencakup arti pembebasan ,pengurangan ,atau penukaran sebagaian atau seluruhnya dari hukuman yang di kenakan pengadilan grasi dapat di mohon atas hukuman mati ,penjara kurungan .meskipun grasi tidak termasuk upaya hukum tetapi pada hakikatnya “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi tidak pasti (tetap) karena ada kemungkinan di bebaskan atau di kurangi”. Dalam hal “hukuman denda” maka permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan (eksekusi) tetapi jika terpidana tidak mampu membayarnya maka dapat di tangguhkan ,demikian halnya dengan hukuman jenis lainya.[5]
b. Amnesti
Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.
c.Abolisi
Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali.[6]

--------------------------------------------------------------
------------------------

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam peradilan hukum ada beberapa macam upaya hukum, salah duanya adalah upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, yang didalamnya menyangkut upaya banding, upaya kasasi, dan upaya peninjauan kembali (PK).
Adapun yang dimaksud dengan upaya banding adalah memohon supaya perkara yang telah diputus oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa belum puas dengan keputusan Pengadilan tingkat pertama.
Sedangkan upaya kasasi adalah upaya agar putusan PA dan PTA/PTU/PTN dibatalkan oleh MA karena telah salah dalam melaksanakan peradilan. Dan yang dimaksud upaya peninjauan kembali (PK) adalah meninjau kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan hakim akan menjadi lain.
Upaya hukum yang di berikan kepada kepala pemerintahan bukan merupakan suatu upaya hukum, yakni menyangkut tentang amnesty,grasi,abolisi dan rehabilitasi.


--------------------------------------------------------------

------------------------


DAFTAR  PUSTAKA
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2008).


A Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).


Sutantio Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Gema insani Press, 1996.

Lubis Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama diindonesia, Jakarta: Kencana,2005.

Harahap M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, Jakarta: Pustaka Kartinii 1993.



[1] Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2008).h.67

[2] A Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).h.81

[4] Sutantio Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Gema insani Press, 1996.h.90

[5] Harahap M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, Jakarta: Pustaka Kartinii 1993.h.235

[6] Sutantio Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Gema insani Press, 1996.h.35


Semoga Bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar