MAKALAH
MUZARA'AH, MUKHABARAH DAN MUSAQAH
Di Susun
O
L
E
H
Kelompok 8:
1.
Desi Paramita
2.
Rabiatul Adawiyah
3.
Reni Dian Sari
4.
Siti Syarah Lubis
5.
Susilawati
6.
Jurusan / Prodi : Syariah
/ MU
Semester / Unit : 6
/ 1 & 2
Mata Kuliah : Muqaranah Madzahib fil Mu’amalah
Dosen Pembimbing :
IAIN ZAWIYAH COT KALA LANGSA
Tahun Akademik 2013/2014
--------------------------------------------------
-------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai
sumber ekonomi.
Dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua
tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan
keuntungan bersama.
Dalam pembahasan ini, pemakalah akan membahas tiga diantara
muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah.
Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan pemakalah
kaji adalah landasan hukum
Al Quran dan Hadits yang mengatur tentang masalah di bidang pertanian ini dan perbandingan pendapat para ulama mazhab mengenai Muzara’ah,
Mukhabarah dan Musaqah.
--------------------------------------------------
-------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MUZARA’AH
1.
Pengertian Muzara’ah
Muzaraah dalam bentuk bahasa ialah bentuk
kata yang mengikuti wazan mufaa’alah dari akar kata Az-Zar’u. Kata muzara’ah
adalah masdar dari Fi’il Madli zaara’a dan fi’il Mudlori’ yuzaari’u yang secara bahasa
mempunyai pengertian tanam, menanam.[1]
Lafaz az’zar’u memiliki dua macam
arti: [2]
a.
Menabur benih di tanah
b.
Menumbuhkan
Hanya saja arti yang pertama
merupakan arti yang majaz, sedangkan arti yang kedua adalah makna hakiki. Oleh karena itu terdapat larangan seorang
manusia mengucapkan: “Saya telah menumbuhkan”, tetapi hendaklah ia mengucapkan:
“Saya bertani”.
Berkaitan
dengan hal ini Rasulullah saw bersabda:
Artinya:
janganlah salah seorang dari kalian mengatakan: ‘’Saya telah menumbuhkan”.
Tetapi hendaklah ia mengatakan: “saya telah bertani”. (HR. Al-Bazzar)
Adapun
pengertian muzara’ah menurut terminologi para ulama fiqh (fuqaha), mempunyai
beberapa perincian dari berbagai mazhab:[3]
1.
Mazhab Hanafi
Muzarah
menurut pengertian syara’ ialah suatu akad perjanjian pengolahan tanah dengan
memperoleh hasil sebagian dari penghasilan tanah itu.
Bisa
jadi pengertiannya meliputi realita bahwa penggarap menyewa tanah untuk
ditanami dengan imbalan ongkos sebagian dari hasil tanamannya. Atau bisa juga bahwa pemilik tanah
mempekerjakan penggarap tanah agar menanami tanahnya dengan imbalan upah
sebagian dari hasil buminya.
Mazhab
hanafiyah memperselisihkan hukum tentang muzara’ah ini. Abu Hanifah mengatakan
bahwa akad perjanjian macam itu hukumnya tidak boleh. Imam Abu Yusuf dan Imam
Muhammad mengatakan hukumnya boleh.
Hanya
saja Imam Abu Hanifah membolehkan muzara’ah apabila alat pertanian dan benihnya
bagi pemilik tanah dan penggarap. Dengan demikian penggarap menyewa tanah
dengan ongkos yang ditentukan, yaitu manfaat dari alat pertanian dan benih. Ia
mendapatkan sebagian hasil dengan cara rela sama rela. Bukan imbalan upah.
Beliau
mencegah praktek muzara’ah dengan pengertian pertama diatas karena adanya
larangan menyewa tanah oleh penggarap dengan imbalan sebagian dari hasil
pekerjaannya. Hal ini sama dengan memperkerjakan seseorang untuk menggiling
satu irdab (kurang lebih 24 gantang) gandum dengan perjanjian mengambil upah
setakar tepung dari gandum yang digilingnya.
Jika dikaji lebih lanjut, Abu Hanifah memang
pada awalanya sudah mengharamkan akad muzara’ah. Lebih dari itu, beliau dan
pengikutnya menyamakan musaqah dan muzara’ah karena Illat yang paling
mempengaruhi terhadap pendapat mereka ialah hasil dari akad ini belum ada ( المعدوم ) dan tidak jelas ( الجهالة ) ukurannya sehingga keuntungan yang dibagi sejak semula tidak
jelas. Landasan hadits yang digunakan Abu hanifah adalah : “ Barang siapa yang
memiliki tanah hendaklah mengelolanya, tidak boleh menyewakannya dengan
sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan memakan yang ditentukan”[4]
Hanya
saja tidak ada khilaf atau perbedaan faham dikalangan ulama hanafiyah tentang
bolehnya menyewakan tanah dengan imbalan berupa makanan. Baik makanan yang
berupa hasil bumi seperti gandum dan kapas. Atau bukan hasil bumi seperti madu.
Jadi segala sesuatu yang dinilai ada harganya, maka dinilai patut sebagai
ongkos sewa.
a.
Hukum Muzara’ah Shahih
·
Segala keperluan untuk
memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
·
Pembiayaan
atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
·
Hasil
yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
·
Menyiran
atau menjaga tanaman.
·
Dibolehkan menambah
penghasilan dan kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
·
Jika salah seorang yang
akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa
sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
b.
Hukum Muzara’ah fasid
· Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
· Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
· Jika dari pemilik tanah, penggarap
berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya[5]
2.
Mazhab Hambali
Ulama-ulama
Hanabilah berkata: Muzara’ah ialah orang yang mempunyai tanah yang dapat
dipakai untuk bercocok tanam memberikannya kepada seseorang yang akan mengerjakan
serta memberi kepadanya bibit, atas dasar diberikan kepadanya sebagian dari
hasil bumi itu, 1/3 dan 1/2 dengan tidak ditentukan banyaknya sukatan. Jadi,
boleh Muzara’ah dan hendaknya bibit itu diberikan oleh pemilik tanah.
3.
Mazhab Maliki
Muzara’ah
ialah persekutuan dalam suatu akad perjanjian. Muzara’ahyang dibolehkan adalah
berdasarkan upah. Ringkasnya, tidak boleh menyewa atau mengupahkan itu dengan
hasil yang diperoleh dari tanah, dan boleh kalau dengan upah yang tertentu.
Lebih
lanjut dijelaskan dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa muzara’ah
adalah menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang
perdagangan.[6]
4.
Mazhab Syafi’i
Dalam
kitab al Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa sunah Rasul menunjukan dua hal
tentang makna Muzara’ah yakni pertama; kebolehan bermuamalah atas pohon kurma /
diperbolehkan bertransaksi atas tanah dan apa yang dihasilkan. Artinya pohon
kurma telah ada baru kemudian diserahkan pada perawat (pekerja) untuk dirawat
sampai berbuah. Namun sebelumnya kedua belah pihak (pemilik kebun dan pekerja)
harus dulu bersepakat tentang pembagian hasil, bahwa sebagian buah untuk
pemilik kebun sedang sebagian yang lain untuk pekerja. Kedua; ketidakbolehan
Muzara’ah dengan pembagian hasil 1/4 dan 1/3 atau sebagian dengan sebagian.
Maksudnya adalah menyerahkan tanah kosong dan tidak ada tanaman didalamnya
kemudian tanah itu ditanami tanaman oleh (penggarap) dengan tanaman lain.
Menurut
Syekh Muhammad Yusuf Qordhawi, [7]
Muzara’ah adalah pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang
hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah
ditentukan, misalnya: 1/2 , 1/3 atau kurang atau lebih menurut pesetujuan
bersama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:[8]
Muzaraah merupakan asal dari ijarah (mengupah atau menyewa orang), dikarenakan
dalam keduanya masing-masing pihak sama-sama merasakan hasil yang diperoleh dan
menanggung kerugian yang terjadi.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Muzaraah ini lebih
jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah. Karena dalam ijarah, salah
satu pihak sudah pasti mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam muzaraah,
apabila tanaman tersebut membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan untung,
apabila tidak menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian bersama.
2.
Dasar Hukum Muzara’ah
Al Qur ‘an Surat Al-Muzzammil ayat 20 dan Az-Zukhruf ayat 32:
Artinya: “Dan yang lain lagi, mereka bepergian dimuka bumi mencari
karunia dari Allah”. (Al Muzammil : 20)[9]
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu atau
kami telah menentukan antara mereka penghidupan dalam kehidupan dunia, dan kami
telah meninggalkan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Az-Zukhruf : 32)[10]
Kedua ayat tersebut diatas menjelaskan bahwa Tuhan memberi
kebebasan kepada manusia supaya berusaha mencari rahmat-Nya untuk bertahan
hidup dimuka bumi.
Hadist Nabi:
Dalam kitab
al-Mughni disebutkan,[11]
“Pekerjaan tersebut sangat populer, Rasulullah SAW sendiri mengerjakannya
hingga tiba wafatnya, kemudian dilakukan pula oleh para khalifahnya sampai
mereka meninggal dunia, kemudian keluarga mereka, dan sesudah mereka.”
Di Madinah,
tidak ada seorang penghuni rumah yang tidak melakukan praktek tersebut,
termasuk isteri-isteri Nabi SAW. Tradisi seperti ini tidak boleh dihapuskan,
karena penghapusan hanya berlaku pada masa kehidupan Rasulullah SAW. Adapun
sesuatu yang telah ia kerjakan hingga berpulang ke rahmatullah, kemudian
dilakukan oleh khalifah-khalifah sesudahnya, para sahabat sepakat melakukan,
dan tidak seorang pun yang tidak turut serta melakukannya, tidak mungkin untuk
dihapus.
·
Hadits
yang diriwayatkan oleh Tirmidzi:
Dari Ibnu Abbas : “Bahwasanya Nabi SAW tidak mengharamkan Muzara’ah, hanya saja
beliau memerintahkan masing-masing bersikap santun”. (HR At- Tirmidzi)[12]
· Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abdillah
Artinya: “Dari Abdullah RA berkata: Rasullah telah memberikan tanah
kepada orang Yahudi Khaibar untuk di kelola dan ia mendapatkan bagian (upah)
dari apa yang dihasilkan dari padanya.”
· Hadist yang di riwayatkan Oleh Rafi’ bin Khudaij, ia berkata:
Artinya: “Dari Rafi’ bin Khudaij berkata: Rasulullah SAW melarangku
dari meninggalkan sesuatu yang membuahkan manfaat, lalu berkata: Apabila
diantara salah satu dari kita ada yang mempunyai tanah, hendaknya ia memberikan
(menyerahkan) tanahnya untuk dikelola dengan memberikan (upah) sebagian dari
hasil tanah tersebut atau dengan memberikan (upah) dirham”.
Dalil Al Quran dan hadist tersebut diatas merupakan landasan hukum
yang dipakai oleh para ulama’ yang membolehkan akad perjanjian Muzara’ah.
Ulama-ulama’ tersebut antara lain Ahmad bin Hambal, Malik, Abu Hurairah.[13]
Kemudian ada juga Ulama’ yang melarang adanya akad Muzara’ah.
Berdasarkan dalil hadits berikut:[14]
· Hadist dari Sabit bin Dhahak
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah mencegah (melarang) akad bagi
hasil (Muzara’ah) dan memerintahkan sewa
menyewa”.
· Hadist Imam Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad dan Bukhari juga meriwayatkan
dari Rafi’ bin Khudaij, “Barang siapa yang mempunyai tanah, maka hendaklah
ia menanaminya, janganlah ia menyewakannya dengan sepertiga, seperempat (dari
hasilnya) atau dengan makanan tertentu”. (Bukhori dan Muslim)
Adapun Hadits yang melarang ini maksudnya
hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah
seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan
tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang
lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits
yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil.
Hadits itulah yang dijadikan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Zufar
untuk melarang Muzara’ah.
3.
Rukun dan Syarat Muzara’ah
Rukun-rukun dalam Akad Muzara’ah:
Jumhur
ulama’ yang membolehkan akad Muzara’ah
menetapkan rukun yang harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah:[15]
a.
Ijab qabul (‘Aqad)
b.
Penggarap dan pemilik tanah (‘Aqid)
c.
Adanya obyek (ma’qud ilaih)
d.
Harus ada ketentuan bagi hasil.
Dalam
akad Muzara’ah apabila salah satu rukun itu tidak terpenuhi, maka pelaksanaan
akad Muzara’ah tersebut batal. Untuk lebih jelasnya perlu dipaparkan dari
beberapa rukun Muzara’ah sebagai berikut:[16]
Ijab Qabul (‘Aqad)
Ijab
dan qabul artinya ikatan antara pemilik tanah dan penggarapnya. Pada prinsipnya
akad Muzara’ah terjadi sesudah ada perjanjian antara pihak yang menyewakan dan
penyewa.
Penggarap dan Pemilik Tanah (‘Aqid)
‘Aqid adalah seorang yamg mengadakan akad
disini berperan sebagai penggarap atau pemilik tanah pihak-pihak yang
mengadakan akid, maka para mujtahid sepakat bahwa akad Muzara’ah sah apabila
dilakukan oleh:
1.
Seseorang yang telah mencapai umur
2.
Seseorang yang berakal sempurna.
3.
Seseorang yang telah mampu
berikhtiar
Adanya obyek (ma’qud ilaih)
Ma’qud
ilaih adalah benda yang berlaku pada hukum akad atau barang yang dijadikan
obyek pada akad. Ia dijadikan rukun karena kedua belah pihak mengetahui wujud
barangnya, sifat keduanya serta harganya dan manfaat apa yang di ambil. Akad
Muzara’ah itu tidak boleh dilakukan kecuali atas tanah yang sudah diketahui.
Kalau tidak dapat diketahui kecuali dengan dilihat seperti tanah pekarangan,
maka dalam hal ini tidak boleh hingga dilihat terlebih dahulu. Dan juga tidak
boleh kecuali atas tanah-tanah yang bermanfaat atau subur.
Hal
ini dilakukakan untuk menghindari kerugian (baik tenaga maupun biaya) dari
masing-masing pihak yang bersangkutan.
Harus ada ketentuan bagi hasil
Dalam
akad Muzara’ah perlu diperhatikan ketentuan bagi hasil seperti setengah,
sepertiga, seperempat, lebih banyak atau lebih sedikit dari itu. Hal itu harus
diketahui dengan jelas, disamping juga untuk pembagiannya. Pembagian hasil
harus sesuai dengan kesepakatan keduanya.
Syarat-syarat dalam Akad Muzara’ah:[17]
Adapan
syarat-syarat dalam akad Muzara’ah menurut Jumhur ulama’ ialah:
a.
Orang yang melakukan akad harus
baligh dan berakal.
b.
Benih yang akan ditanam harus jelas
dan menghasilkan, sehingga penggarap mengetahui dan dapat melaksanakan apa yang
diinginkan oleh pemilik lahan pertanian itu.
c.
Lahan pertanian yang dikerjakan :
1.
Menurut adat kebiasaan dikalangan
petani, lahan itu bisa diolah dan menghasilkan. Sebab, ada tanaman yang tidak
cocok ditanami pada daerah tertentu.
2.
Batas-batas lahan itu jelas
3.
Lahan itu diserahkan sepenuhnya
kepada petani untuk di olah dan pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan
untuk mengolahnya.
d.
Hasil yang akan dipanen
1.
Pembagian hasil panen harus jelas
(prosentasenya)
2.
Hasil panen itu benar-benar milik
bersama orang yang berakad, tanpa ada pengkhususan seperti disisihkan terlebih
dahulu sekian persen. Persyaratan ini pun sebaiknya dicantumkan dalam
perjanjian sehingga tidak timbul perselisihan dibelakang hari, terutama sekali
lahan yang dikelola sangat luas.
e.
Jangka waktu harus jelas dalam akad,
sehingga pengelola tidak di rugikan, seperti membatalkan akad itu
sewaktu-waktu. Untuk menentukan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan
adat kebiasaan setempat.
f.
Obyek akad harus jelas pemanfaatan
benihnya, pupuk dan obatnya, seperti yang berlaku pada daerah setempat.
Menurut Hanafiyah, rukun muzara’ah ialah:[18]
1.
Tanah
2.
Perbuatan pekerja
3.
Modal
4.
Alat-alat untuk menanam.
Syarat-syaratnya ialah :
1.
Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain,
yaitu harus berakal.
2.
Syarat yang berkaiatan dengan
tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
3.
Hal yang berkaitan dengan perolehan
hasil dari tanaman, yaitu:
a.
Bagian masing-masing harus
disebutkan jumlahnya persentasenya ketika akad
b.
Hasil adalah milik bersama
c.
Bagian antara amil dan Malik adalah
dari satu jenis barang yang sama misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya padi
kemudian Amil bagiannya singkong, maka hal ini tidak sah
d.
Bagian kedua belah pihak sudah dapat
diketahui
Tidak
disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum
[1]
Yan Tirtobisono dan Ekrom Z, Kamus Arab Inggris Indonesia, (Surabaya:
Apollo), hal. 272.
[2]
Abdulrahman Al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, (Semarang: Asy-Syifa’, 1994),
hal.15.
[3]
Abdulrahman Al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, hal.16.
[4]
http://ihtsiqgf.blogspot.html, Diposkan oleh ihtsiq, di akses pada
tanggal 12 Mei 2014 pukul 10.00 WIB.
[5]
http://santri-martapura.blogspot.com.html, diposkan
oleh Elmonk Zaenal, diakses
pada tanggal 12 Mei 2014pukul 10.00 WIB.
[6] Suhendi, Fiqih
Muamalah,(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008), hal.154-155
[7] http://library.walisongo.ac.id.pdf,
di akses pada tanggal 12 Mei 2014 pukul 10.00 WIB.
[8]
http://anharululum.blogspot.com.html, diposkan oleh anharul ulum,
di akses pada tanggal 12 Mei 2014 pukul 10.00 WIB.
[9]
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha
Putra), 1989, hlm.
990.
[10]
Ibid., hal.798.
[11]
http://alveesyukri.blogspot.com.html, diposkan oleh
@lvee el-Isdar,
diakses pada tanggal 12 Mei 2014 pukul 10.00WIB.
[12]
Al Imam Asy-Syaukani, Ringkasan Nailul
Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam),
2006, hal.180.
[13]
http://library.walisongo.ac.id.pdf, di
akses pada tanggal 12 Mei 2014 pukul 10.00 WIB.
[14]
Ibid,.
[15]
Abdulrahman Al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, hal.23.
[16] http://library.walisongo.ac.id.pdf, di akses pada
tanggal 12 Mei 2014 pukul 10.00 WIB.
[17]
Ibid.
[18] Suhendi, Fiqih
Muamalah, hal.155
A.
MUKHABARAH
Kata
mukhabarah merupakan masdar dari fi’il Madli khabara dan fi’il Mudlari’
yukhaabiru yang secara bahasa mempunyai pengertian tanah gembur, lunak.[1]
Imam
Hanafi mendefenisikan mukhabarah adalah sama dengan muzara’ah yaitu dalam
pengertian syar’i adalah suatu akad
perjanjian pengolahan tanah dengan imbalan upah berupa sebagian dari hasil bumi
yang diolah. Sedangkan pengertian mukhabarah menurut etimologi, ialah merupakan
bentuk yang keluar dari kata khibaar artinya tanah yang lunak.[2]
Imam
Syafi’i mendefinisikan Mukhabarah ialah “Pengolahan lahan oleh petani dengan
imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan pengelola lahan”.[3]
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, barang siapa mempunyai tanah
maka hendaklah mereka menanaminya, atau agar digarap oleh saudaranya, bila
tidak mau maka hendaklah menahan tanahnya”.(HR
Bukhari dan Muslim)
Menurut
ijma’ ulama ,untuk kondisi seperti ini boleh disewakan dan tidak wajib
dipinjamkan, dengan demikian bahwa hanya sebagai anjuran.[4]
Ada juga Ulama’ yang melarang adanya akad Mukhabarah:
Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi saw melarang al-Muzabanah dan
al-Mukhadharah. Jabir berkata, mukhadharah adalah menjual buah sebelum matang sedang
mukhabarah adalalah menjual buah anggur dengan harta sekian dan sekian dengan
timbangan satu sha’. (Shahih Ibnu Majjah dan Muslim).[5]
Menurut
Imam syafi’i, Muzara’ah dan Mukhabarah merupakan dua akad yang berlainan.
Mukhabarah yakni mendapatkan orang untuk bekerja pada sawah ladang dengan
menjanjikan upahan sebagian dari hasil tanah itu. Sedangkan Muzara’ah yakni
menyewa pekerja untuk bercocok tanam pada sawah ladang itu dengan membayar
sebagian dari hasil tanah itu.
Dari
segi maknanya tidak ada perbedaan, tetapi menurut Imam Rafi’i dan Imam Nawawi
bahwa dalam Muzara’ah itu benih-benih tanaman dikeluarkan oleh pemilik ladang.
Sedangkan dalam Mukhabarah benih-benih itu ditanggung oleh si penggarap.
Setelah diketahui defenisi diatas, dapat dipahami bahwa mukhabrah
dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaanya ialah
antara mukhabrah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama,
yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola.
Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabrah,
dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah.[6]
[1] http://library.walisongo.ac.pdf,
di akses pada tanggal 12 Mei 2014 pukul 10.00 WIB.
[2]
Abdulrahman Al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, hal.20.
[3]
Ibid., hal. 22.
[4] Al
Imam Asy- Syaukani, Ringkasan Nailul
Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2006), hal.181.
[5]
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Kitab Shahih Sunan Nasa’i, (Jakarta:
Pustaka Azzam), 2009, hal.48.
[6] Suhendi, Fiqih
Muamalah, hal.155.
A.
MUSAQAH
Musaqah diambil
dari kata saqa, yaitu seseorang bekerja pada
pohon tamar, anggur (mengurasnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya
mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang
diurus sebagai imbalan.[1]
Dari Ibnu Umar RA, ”Bahwasannya
Nabi mempekerjakan penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di Khaibar dengan
upah setengah buah kurma dan tanaman yang dihasilkan dari lahan itu”. ( HR. Jama’ah)
Menurut ahli
fiqih adalah menyerahkan pohon yang telah atau belum ditanam dengan sebidang
tanah, kepada seseorang yag menanam dan merawatnya di tanah tersebut (seperti
menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan bagian yang
telah disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk
pemiliknya
Menurut
Abdurrahman al-Jaziri,[2]
al-musaqah adalah: “Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian)
dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.”
1.
Menurut malikiyah, al-musaqah ialah:
“Sesuatu yang tumbuh ditanah”
Menurut Malikiyah, sesuatu yang tumbuh ditanah dibagi menjadi:
a.
Pohon-pohon tersebut berakar kuat
(tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan
waktu yang lama, misalnya pohon anggur dan zaitun
b.
Pohon-pohon tersebut berakar tetap,
tetapi tidak berbuah seperti pohon kayu keras, karet, jati.
c.
Pohon-pohon tersebut berakar kuat,
tetapi berbuah dan dapat dipetik, seperti padi dan qatsha’ah (pohonnya
seperti pohon labu dan buahnya seperti ketimun).
d.
Pohon-pohon tersebut tidak berakar
kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik, tetapi memiliki kembang yang
bermanfaat, seperti bunga mawar.
2.
Menurut Syafi’iah, yang dimaksud
al-musaqah ialah:
“Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur
kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan
menjaganya dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan
pohon-pohon tersebut.”
3.
Menurut Hanabilah al-musaqah
mencakup dua masalah, yaitu:
a.
Pemilik menyerahkan tanah yang sudah
ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya
yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti
sepertiganya atau setengahnya.
b.
Seseorang menyerahkan tanah dan
pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam
pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon
yang ditanamnya, yang kedua ini disebut munasabah mugharasah karena
pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.[3]
Musaqah yaitu menetapkan seorang pekerja kepada pepohon untuk dia
menjaganya dengan mengairinya dan memperhatikan kepentingannya. Lantaran
mengairi tanaman itu merupakan kerja-kerja yang mendatangkan manfaat, maka
ditetapkan baginya suatu akad perjanjian, yang mana semua para sahabat dan para
tabi’in sepakat membolehkannya tanpa ada khilaf lagi.
MUSAQAH YANG
DIBOLEHKAN
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan dalam
musaqah. Imam Abu Dawud berpendapat bahwa yang boleh di musaqahkan hanya kurma.
Menurut Syafi’iah, yang boleh di musaqahkan hanyalah kurma dan anggur saja
sedangkan menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar kedasar bumi dapat
di musaqahkan seperti tebu.
Abu yusuf dan Muhammad membolehkan musaqah, sama dengan mudharabah,
disamakan denagn akad ijarah (sewa menyewa, padahal manfaat belum ada. Selain
itu dari itu Qiyas tidak dapat membatalkan nash, atau ijma’.[4]
Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka
waktu yang berlaku jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah
akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit,
seperti terong.
Menurut Imam Malik musaqah dibolehkan untuk semua pohon yang
memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun dan pohon-pohon yang serupa
dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat,
seperti semangka dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk
menggarapnya.
Menurut mazhab Hanbali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon
yang buahnya dapat dimakan. Dalam kitab al-Muqhni imam Malik berkata, musaqah
diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon
yang perlu disiram.[5]
Apabila penggarap tidak mampu bekerja karena sakit atau berpergian
yang mendesak, maka musaqah menjadi fasakh (batal). Apabila dalam akad musaqah
disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara langsung (tidak dapat
diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka musaqah tidak menjadi batal,
tetapi penggarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama berhalangan
itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab Hanafi.
Dalam keadaan penggarap tidak mampu menggarap tugasnya mengurus
pohon-pohon, sedangkan penjualan buah sudah waktunya, menurut Imam Malik,
penggarap berkewajiban menyewa orang lain untuk menggantikan tugasnya, yaitu
megurus pohon-pohon. Orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang dihasilkan
dari musaqah karena orang kedua dibayar oleh musaqi sesuai dengan
perjanjian.
Sedangkan imam Syafi’i
berpendapat bahwa musaqah batal apabila pengelola tidak lagi mampu bekerja
untuk mengurus pohon-pohon yang ada dikebun atau disawah yang di musaqahkan
sebab penggarap telah kehilangan kemampuan untuk menggarapnya.[6]
[1] Ibid.
[2]
Ibid.
[3] Suhendi, Fiqih
Muamalah, hal.146-147
[4]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, (Semarang: PT.
Pustaka Rezki Putra), 2003, hal.229.
[5] Suhendi, Fiqih
Muamalah, hal.149.
[6] Ibid,
hal.150
--------------------------------------------------
-------------------------------
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Muzara’ah
dan Mukhabarah adalah suatu akad perjanjian yang berbeda. Perbedaan tersebut
terletak pada siapa yang memberikan atau mengeluarkan benih atau bibit tanaman
tersebut. Apabila benih atau bibit tanaman tersebut dari pemilik tanah, maka
akad bagi hasil tersebut Muzara’ah dan apabila benih atau bibit tanaman
tersebut dari penggarap atau pengelola tanah, maka akad bagi hasil itu disebut
Mukhabarah.
Sedangkan
Musaqah juga hukumnya dibolehkan asalkan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dan selama tidak merugikan pihak mana pun.
Di
dalam Al-Qur’an, Allah membebaskan
manusia untuk mencari nafkah di dunia dengan cara-cara yang halal demi untuk
kelangsungan hidupnya. Bentuk kerja sama di bidang pertanian ini sebenarnya
sudah pernah Rasulullah saw. praktekkan. Namun Beliau memerintahkan ummatnya
untuk bersikap adil dan menggunakan cara-cara yang halal agar tidak merugikan
orang lain.
B.
Saran
Seharusnya
sebagai umat Islam sudah sepatutnya kita untuk mematuhi semua yang telah di
perintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Di zaman seperti sekarang ini, sudah
sangat jarang sekali kita menemukan orang-orang yang mengerti dan menerapkan
ajaran-ajaran Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Karena dengan menjalankan
segala perintah-Nya lah kehidupan kita akan aman dan sejahtera.
--------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989.
Yan Tirtobisono
dan Ekrom Z, Kamus Arab Inggris Indonesia, Surabaya: Apollo.
Al Jaziri, Abdulrahman,
Fiqh Empat Mazhab, Semarang: Asy-Syifa’, 1994.
Asy- Syaukani,
Al Imam, Ringkasan Nailul Authar, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin, Kitab Shahih Sunan Nasa’i, Jakarta: Pustaka Azzam,
2009.
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Mutiara Hadits, Semarang: PT. Pustaka
Rezki Putra, 2003.
http://ihtsiqgf.blogspot.html
http://santri-martapura.blogspot.com.html
http://library.walisongo.ac.id.pdf
http://anharululum.blogspot.com.html
http://alveesyukri.blogspot.com.html
Semoga Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar