MAKALAH
PERKEMBANGAN TASYRI' MASA TABI'IN
Di Susun
O
L
E
H
Nama : Rabiatul
Adawiyah
Jurusan / Prodi : Syariah / MU
Semester
/ Unit : 4 / 2
Mata
Kuliah : Tarikh Tasyri’
Dosen
Pembimbing :
Tahun Akademik 2012/2013
----------------------------------
---------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
Tarikh tasyri Islam seperti dikemukakan
Ali Al-Ayafi’I adalah ilmu yang membahas keadaan hukum-hukum pada masa nabi dan
sesudahnya termasuk penjelasan dan periodesasinya. Yang pada perkembangannya
hukum itu menjelaskan karakteristiknya.
Menurut batasan diatas tampak bahwa
tarikh tasyri Islam merupakan pembahasan tentang segala aktifitas manusia dalam
pembentukan perundang-undangan Islam dimasa lampau, baik masa nabi, sahabat
maupun tabi’in.
Pada periode ini Islam tumbuh dan
berkembang menjadi pesat serta membuahkan khazanah hukum Islam. Sehingga
periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi perundang-undangan Hukum
Islam. Para ulama’ mempunyai ilmu pengetahuan dan semangat yang tinggi, juga
kemantapan iman yang kuat dengan dibantu oleh para tokoh masyarakat atau
disebut juga para imam madzhab dan sahabat-sahabatnya.
Dinamakan periode pembukuan karena
usaha atau gerakan untuk membukukan serta menulis terhadap Hukum Islam ini
mengalami kemajuan yang sangat pesat. Yang sempat dibukukan pada kesempatan itu
adalah fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat , tabi’in , as-Sunnah serta
berbagai komentar secara mendalam tentang tafsir al-Qur’an dan lainnya.
Disini akan dibahas masalah pembentukan
hukum Islam pada masa tabi’in karena muai terjadinya perkembangan-perkembangan
hukum Islam yang semakin pesat.
----------------------------------
---------------------------------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN TASYRI’ MASA TABI’IN
A. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan
Tasyri’
Sejak masa khulafaur rasyidin berakhir,
fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau sahabat yang pemerintahannya
dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan Bani Umayah menggunakan sistem monarki
yang menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya, yang bersifat kekholifahan.
Umat Islam pada saat itu terpecah
menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij sebagai penentang Ali, Syi’ah sebagai
pendukung Ali, dan kelompok mayoritas (jumhur). Munculnya keompok-kelompok itu
berpengaruh besar dalam mewarnai proses perkembangan hukum Islam.
Pada fase ini perkembangan hukum Islam
ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong
terbentuknya aliran hukum. Walaupun panasnya suasana politik yang dipengaruhi
oleh golongan-golongan pemberontak yakni golongan Khawarij dan Syi’ah mewarnai
pada periode ini, akan tetapi fase-fase ini disebut juga masa keemasan Islam
yang mana tumbuh banyak perkembangan-perkembangan keilmuan, adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya:
1.
Bidang
politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan
munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya
aliran hukum. Pada bidang ini timbul tiga golongan politik, yaitu: Khawarij,
Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing kelompok tersebut berpegang kepada
prinsip mereka sendiri.
2.
Perluasan
Wilayah
Sebagimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah
berjalan pada periode khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode
Tabiin mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat. Dengan
demikian telah banyak daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh Islam,
sehubungan dengan itu semangat dari para ulama untuk mengembalikan segala
sesuatunya terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang seiring banyak terjadi
perkembangan kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan bersama.
3.
Perbedaan
Penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya
dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu; aliran Hadits yaitu para ulama
yang dominan menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu.
Dan kedua adalah ulama aliran ra’yu yang banyak dalam
penggunaan pemikirannya dengan ra’yu dibandingkan dengan Hadits,
dengan demikian adanya perkembangan pemikiran yang dapat mendorong perkembangan
hukum Islam.
4.
Fahamnya
Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu
Al-Quran dan Al-hadits sebagai pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para
ulama pun sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama
yang dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan
sehingga keputusan-keputusan itu dapat dijadikan yurispudensi pada masa hakim
saat ini.
5.
Lahirnya
Para Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
Dengan lahirnya para
cendikiawan-cendikiawan muslim seperti Abi Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I
dan juga para sahabat-sahabatnya dengan pemikiran-pemikiran yang dimiliki telah
berperan dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat.
6.
Kembalinya
Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak
permaslahan-permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu
para pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan
permasalahan-permasalahan terjadi pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli
perundang-undangan.
Pada masa Abu Bakar dan Ustman sahabat
dilarang keluar dari madinah, agar tidak menyebarkan hadits secara sembarangan
dan dapat bermusyawarah bersama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang
penting.
B. Sumber-Sumber
Tasyri Pada Zaman Tabi’in
Sebagaimana pada periode Sahabat-sahabat
besar, sumber perundang-undangannya juga tidak jauh berbeda, sumber-sumber
perundang-undangan pada periode ini ada empat macam,
yakni:
a.
Al-Qur’an
b.
As-Sunnah
c.
Al-Ijma’
d.
Al-Qiyas
Apabila terjadi suatu peristiwa para
ahli fatwa merujuk pada kitabullah. Mereka memperhatikan nash yang menunjuk kepada hukum
yang dimaksud, dan memahami nash itu. Pada periode ini ada dua hal yang bisa
mempengaruhi segi pemeliharaannya, yakni; penelitiannya dan penjagaannya dari
segala macam perubahan. Dari segolongan umat Islam ada juga yang
bersungguh-sungguh menghafal al-Qur’an dan memperbaiki system atau bentuk
penulisannya serta pemberian baris dan harokat.
Jika yang mereka maksud tidak terdapat
dalam kitabullah mereka baru beralih memperhatikan Sunnah Rasul. Karena jumhur
beranggapan bahwa as-Sunnah itu menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi
untuk menerangkan al-qur’an. Dan dikalangan jumhur tidak ada orang yang
menentang pendapat ini. Orang yang pertama kali memperhatikan kekurangan ini
adalah Imam bin Abdul aziz pada awal abad ke II H. Ia menulis pada pekerjanya
di Madinah Abu Bakar Bin muhammad bin Amr bin Hazm: “Lihatlah hadits-hadits Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada,
kemudian tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya)
ulama’.
(Diriwayatkan
oleh Malik dalam Mwatha’ dan riwayat Muhammad bin hasan).
Jika mereka tidak mendapatkan pula
dalam nash-nash hadits barulah mereka berijtihad dengan mempergunakan Qiyas
memperhatikan ruh (jiwa) syari’at dan memperhatikan kemashlahatan umat. Apabila
ijtihad para sahabat itu dilakukan bersama-sama dengan mengambil keputusan
bersama, maka itu disebut dengan Ijma’ sahabat.
Pada zaman Nabi dan khalifah,
berjalannya hukum Islam senantiasa sejalan dengan kebijaksanaan para pemegang
kekuasaan pemerintahan karena kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan
langsung oleh pemimpin Negara. Akan tetapi setelah kepemimpinan berpindah
ketangan Bani Umayah.
Perkembangan hukum Islam menunjukan
arah yang berlainan. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai sandaran tempat
kembali bagi pihak-pihak yang berselisih, sejak zaman muawiyah berubah sifatnya
menjadi alat dan pelindung bagi kepentingan-kepentingan golongan yang sedang
barkuasa.
Karena pada tahun-tahun permulaan,
perhatian pemerintah tercurahkan untuk menghadapi peperangan dengan
Negara-negara lain, maka perkembangan hukum Islam banyak sekali mendapat
pengaruh dari keputusan-keputusan para qodhi yang diangkat Gubernur dan
fatwa-fatwa para ahli hukum diluar pemerintahan yang dianggap mampu dan
berpengetahuan luar tentang Al-Qur’an dan Al-sunnah.
Secara umum tabi’in mengikuti
langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh sahabat dalam mengeluarkan
hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan diantaranya mencari ketentuan dalam
Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka mencari dalam As-Sunnah.
Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mereka kembali kepada
pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian sumber hukum pada
masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijmak sahabat, dan ijtihad.
C. Pengaruh Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu Terhadap Tasyri
Pada masa tabi’in ini para ulama’
dibedakan menjadi dua aliran yaitu madrasah Al-Hadits (madrasah al-madinah), madrasah
ra’yu (madrasah al-kufah). Al-hadits adalah golongan yang banyak menggunakan
riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan ra’yu. Imam malik brpendapat
bahwa, ijma’ penduduk madinah merupakan hujjah yang wajib diikuti. Dalam
perkembangan selanjutnya aliran ini terpecah, seperti aliran maikiyah,
syafi’iyah, hanbaliyah, dan hanafiyah.
Adapun ahli ra’yu lebih banyak
menggunakan ra’yu ditambah hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum ini
semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf. Dan pada saat yang sama, semakin
memotifasi perkembangan hukum Islam.
Kedua aliran tersebut, masing-masing
memiliki pendapat dan pengikut sendiri. Disisi lain munculnya dua aliran
pemikiran hukum ini merupakan bukti bahwa dalam Islam terdapat kebebasan
berfikir dan masing-masing saling menghargai perbedaan pendapat diantara
mereka.
D. Pemikiran Hukum Islam
1.
Khawarijj
a) Pemimpin tidak
harus dari Quraisyi, setiap orang berhak menjadi pemimpin, baik yang berasal
dari kalangan merdeka maupun budak.
b) Dalam Al-Qur’an
terdapat sangsi bagi pelaku zina, yaitu dicambuk seratus kali. Disamping itu
dalam Al-Sunnah, ditentukan bahwa sangsi bagi pelaku zina itu dirajam. Khawarij
tidak menerima dan tidak melaksanakan tambahan sangsi bagi pelaku zina yang
terdapat dalam As-Sunnah.
c) Menikahi cucu
perempuan dibolehkan, sebab yang diharamkan dalam Al-Qur’an adalah anak, sedangkan
cucu tidak diharamkan.
d) Menikah dengan
perempuan yang bukan sekte khawarij tidak sah sebab mereka dianggap kafir.
e) Pemikiran
khawarij pada umumnya terpaku pada teks ayat Al-Qur’an bahkan cenderung
mengabaikan hadits yang dianggap tidak terlalu kuat untuk menafsirkan
Al-Qur’an, dalam masalah politik mereka menampilkan pemikiran yang demokratis.
2.
Syiah
a) Menurut sti’ah,
hokum Islam secara umum ada dua, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b) Nikah mut’ah
diperbolehkan dan tidak menjadi sebab saling mewarisi antara suami dan Istri
dan tidak memerlukan talak.
c) Lelaki muslim
tidak boleh menikah dengan wanita nasrani.
d) Dalam masalah
politik, pengganti nabi Muhammad mestinya Ali bin Abi Thalib, sedangkan Abu
Bakar telah merebut kepemimpinan Ali.
3.
Jumhur
a)
Kepemimpinan mesti dipegang oleh
Quraisy.
b)
Penolakan terhaap keabsahan nikah
mut’ah.
c)
Pendapat ini sejalan dengan pendapat
Umar bin Khattab.
d)
Nabi Muhammad tidak mewariskan harta,
karena terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa “kami seluruh nabi tidak mewariskan
harta-harta yang kami tinggalkan adalah shadaqah.
Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam
satu periode sampai empat orang sebagai penafsiran atas surat an-nisa’ ayat 3
dan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan muslim.
----------------------------------
---------------------------------------------------------------------
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Faktor yang mendorong perkembangan
hukum Islam diantaranya yaitu: Adanya partai politik yang mengklaim bahwa
dirinya paling benar. Selain itu luasnya wilayah Islam juga ikut mempengaruhi. Bahkan, perbedaan hujjah juga berpengaruh besar
terhadap penentuan hukum Islam.
Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada masa
tabi’in adalah Al-Qur’an. Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Penerapan tasyri’ pada masa ini dipegang oleh tabi’in yang
selalu menyertai sahabat yang ahli dalam bidang fatwa dan tasyri’. Pada masa
ini pula mulai timbul pertukaran pemikiran dan perselisihan paham diantara
pemuka tasyri’ yang disebabkan oleh perbedaan dalam memahami
ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda, perbedaan pandangan tentang
maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat tinggal para pemuka tasyri’ yang
berlainan (tidak dalam satu lingkungan), dan cara penggunaan ra’yu yang
berbeda.
Pada masa tabi’in ulama’ dibedaan menjadi dua aliran, yaitu
al-hadits dan al-ra’yu. Muculnya dua aliran tersebut semakin mempercepat
perkembangan iktilaf.
Khawarij pemikirannya terpaku pada teks Al-Qur’an. Syiah
pemikirannya terpaku pada Al-Qu’an dan al-hadits yang hanya dari ulama’ syi’ah.
Jumhur pemikirannya terpaku pada Al-Qur’an, hadits, ijmak dan ijtihad.
B. Kritik
dan Saran
Demikianlah makalah sederhana ini dibuat. Namun demikian,
saya sebagai penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Saya
mohon maaf apabila masih banyak ditemui kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangat di harapkan dari pembaca.
----------------------------------
---------------------------------------------------------------------
DAFTAR
PUSTAKA
Supriadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam,
Banddung: Pustaka Setia, 2010.
Mubarak, Jaih, Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Rosda Karya, 2000.
www.google.com
Semoga Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar